“Suster Selly, aku bosan sekolah di TK. Aku mau kembali ke playgroup aja”, kata Hiro muridku TK A yang baru beberapa bulan ini naik ke TK.
Kaget mendengar itu, aku pun dengan cepat bertanya, “Kenapa? Apa yang membuat Hiro bosan di TK? Bukankah di TK temannya lebih banyak?” tanyaku lagi.
“Aku bosan, soalnya di TK tidak ada sepeda”, jawabnya menjelaskan.
“Lho, ada kok”, jawabku.
“Ada sih, tapi sedikit, cuma 3. Yang satu rusak, dan kata Pak Tyo masih diperbaiki. Terus, temannya banyak”, jelas Hiro lagi.
Wah, rupanya Hiro sudah menyampaikan masalah ini kepada guru yang lain. Aku berpikir dalam hatiku, betapa uar biasanya dia.
Setelah mendengar keluhan Hiro, aku pun berpikir, bagaimana kalau sepedanya ditambah. Tapi aku berpikir lagi, tempatnya tidak akan cukup. Untuk memastikan situasi dan sekaligus rencana menambah jumlah sepeda ini, aku pun mulai mengamati situasi halaman sekolah dengan lebih saksama.
Seperti biasa, pagi-pagi sebelum bel masuk sekolah berbunyi, anak-anak TKK Santa Clara, Surabaya, bermain di halaman sekolah. Banyak anak yang minta diantar lebih awal, agar mereka bisa main scooter. Sekolah menyediakan beberapa scooter, sepeda, dan mobil-mobilan. Playground juga dilengkapi dengan luncuran sebagai perlengkapan bermain anak. Selain memilih main scooter, banyak anak juga memilih untuk sekedar berjalan di halaman atau main balok di dalam kelas, dan bahkan ada juga yang memilih ngobrol bersama teman-teman.
Setiap pagi suasananya riuh. Sambil berdiri di depan kantor mengawasi anak-anak yang bermain, aku pun sesekali melihat ke kelas karena ada beberapa anak yang asyik bermain di dalam. Ketika keluar dari kelas B3, mataku tertuju ke depan pintu kantor. Sekelompok anak, kira-kira berjumlah lima sampai tujuh orang, sedang bermain hom pim pah. Aku pun mendekat untuk mengamati permainan mereka.
Sekali lagi: “Hom pim pah! Harus tiga kali menangnya!” kata Celi yang sedang duduk di atas sepeda pink.
“Tapi aku tadi sudah menang”, seriu Chrystal meyakinkan teman-temannya.
“Tapi nanti mainnya berdua ya”, kata Amel menimpali.
“Kalian sedang main apa?” tanyaku setelah beberapa saat memperhatikan mereka.
“Ini lho, sepedanya kan hanya satu, tapi banyak yang mau main sepeda, makanya kita sut”, kata Celi menjelaskan permasalahan yang terjadi.
“Oh begitu! Terus siapa yang menang sekarang?”, tanyaku lagi.
“Belum. Belum ada yang menang, karena menangnya harus tiga kali”, jelas Celi lagi.
“Tapi Suster, kalau harus menangnya tiga kali, nanti kelamaan. Menangnya satu kali aja, supaya bisa cepat main. Mainnya satu putaran ya”, pinta Binar dengan tatapan seolah meminta pendapatku sambil berharap aku setuju dengan idenya.
“Ok!” seru mereka spontan, sambil memberikan sepeda pink kepada Chrystal.
Terimakasih anak-anak hebatku untuk problem solving yang kalian temukan, kalian sepakati, dan kalian jalankan. Terimakasih juga untuk sikap mengalah, berbagi, mendahulukan teman, dan sportivitas kalian.
Pagi ini kalian menjadi guruku yang nyata, bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluar. Keterbatasan tidak selalu menjadi kelemahan, namun justru bisa menjadi sarana pembelajaran yang jauh lebih tinggi. Dengan keterbatasan, kalian belajar menemukan cara mengatasinya, kalian belajar sikap kesederhanaan, berbagi, dan rela mengalah.
Memang benar apa kata Ki Hajar Dewantara: “Semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru”.
Sr. Marselina Siu, M.C.