Autobiografi Madre Maria Ines ini ditulisnya pada tahun 1977, namun tulisan ini ditemukan setelah kematiannya tahun 1981.
Aku lahir di Ixtlán del Río, Nayarit, Meksiko, pada tanggal 7 Juli 1904. Aku adalah anak kelima dari delapan bersaudara.
Banyak dari kalian, putri-putriku, yang tahu bahwa aku masuk ke Ordo biara tertutup karena aku, dengan ukuran kemampuanku, ingin meneladan Santa kesayanganku, Santa Teresa dari Kanak-kanak Yesus. Sejak membaca ‘Kisah Sebuah Jiwa’, aku menemukan, tidak hanya panggilanku, tapi juga Allah sendiri dalam cara yang sangat istimewa dalam diriku. Allah sendirilah yang dari waktu ke waktu mengajarkan apa yang harus kukerjakan, Dia membawaku melalui jalan penyangkalan diri, kemiskinan dan penderitaan yang mendalam untuk dapat menjadi milik-Nya sepenuhnya. Hal ini tidak dapat kuwujudkan segera karena pengejaran agama yang terjadi di Meksiko sejak tahun 1926 sampai 1931. […]
Banyak dari kalian, terutama suster-suster yang sudah lanjut usia, telah mengetahui siapa orang tuaku, yang karena keutamaan-keutamaan mereka, aku yakin bahwa aku tidak akan sampai mampu menyamainya, bahkan sampai setinggi tumit mereka sekalipun. Keduanya sangat saleh, dalam semua arti dari kata itu sendiri (menurut cara pandangku sebagai anak). Kami, seluruh keluarga selalu mengikuti misa harian, juga menerima komuni. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga sejati, sangat pandai, bijaksana, memiliki kepekaan yang luar biasa, tidak hanya dalam memahami kebutuhan kami keluarganya, namun juga kebutuhan dari orang-orang yang mendekati dan meminta bantuan serta nasihat kepadanya. Ibuku sangat dikasihi oleh orang-orang, baik miskin maupun kaya. Dalam keluarga, kami selalu berdoa Rosario. Ayahku tidak pernah merasa malu, bila di tempat-tempat umum, orang-orang melihatnya selalu dikelilingi oleh keluarga, oleh istri dan 8 anaknya, terutama di hari-hari raya, kami selalu pergi bersama-sama hampir ke semua perayaan yang pada waktu itu menjadi kebiasaan, seperti mengunjungi 7 monumen tradisional, ketiga peristiwa jatuhnya Yesus, ibadat 7 sabda, menemani Maria yang berduka di hari Sabtu Suci dan sebagainya.
Ayahku yang terkasih memiliki satu cara khusus untuk memberikan koreksi kepada kami, cara yang tidak akan pernah kulupakan sebab selalu beliau lakukan, yaitu memanfaatkan waktu ketika kami kebetulan lewat di samping beliau pada saat beliau sedang berdoa. Ayahku berdoa selama 3 jam setiap malam, dari jam 9 sampai jam 12 dan ini beliau lakukan sejak aku kecil, dan sejak itu juga aku menyadari betapa banyak ayahku berdoa. Beliau memanggil kami, merangkul kami di bahu dan dengan kelembutan sejati seorang ayah, beliau memberi nasihat terhadap kekurangan kami dan dengan penjelasan-penjelasan yang tenang, beliau membuat kami mengerti seperti apa seharusnya kami bertingkah laku dan sebagainya. Ayah juga selalu memberi berkat kepada kami satu per satu sebelum tidur, tidak ada yang terlewat, tidak juga ibu, dan pemberian berkat itu selalu dilakukannya dengan penuh hormat dan devosi, memegang pundak kami dengan tangan kirinya, dan ketika sampai pada kata-kata: dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, beliau selalu mengarahkan pandangannya ke langit, dan berakhir dengan belaian lembut di pipi dan sebuah kecupan di pipi dan satu lagi di dahi. Itu setiap malam. TERIMA KASIH YA ALLAHKU, KARENA ENGKAU MEMBERIKU ORANG TUA YANG PENUH DENGAN ENGKAU SENDIRI!
Keutamaan dan kebaikan ibu, menurutku sangat alami dan yang memang seharusnya begitu. Namun bila melihat ayah, sebagai seorang laki-laki, pengacara, aku benar-benar merasa takjub; bukan itu kata-kata yang tepat, namun aku merasa kagum. Rasa hormat dan kelembutan yang ayahku tunjukkan saat memberi sedekah kepada tiap orang miskin yang ditemuinya, beliau melepaskan topinya dan menyebut orang itu ‘sahabat’. Betapa besar rasa hormatnya kepada para imam dan kepada semua hal yang kudus! Betapa besar cinta beliau kepada orangtuanya, sebab tidak pernah beliau berangkat kerja, (setelah mengikuti Misa dan yang lain), tanpa lebih dahulu pergi ke depan foto ayahnya yang berada di kamar tidurnya, membuat tanda salib di hadapannya, dan mempercayakan pekerjaan beliau agar dapat bekerja dengan kejujuran dan seturut Hati Allah.
Aku bertanggung jawab di hadapan Allah atas diriku sendiri, sebab aku melihat diriku sangat jauh dari teladan orangtuaku!
Aku suka menghadiri pesta-pesta keluarga, piknik dan kesenangan-kesenangan lainnya. Aku juga suka berdandan dan menjadi pusat perhatian. Namun semua itu tidak membuatku merasa penuh. Pada bulan Mei 1924, kami pergi dari Tepic ke Colima dan pada bulan September aku mendapat serangan apendisitis akut. Keluargaku membawaku ke Guadalajara di mana dokter mengatakan bahwa aku harus dioperasi. Aku tidak mau, aku takut.
Sebelum kembali ke Colima, aku dipinjami buku tentang hidup Santa Teresia dari Kanak-Kanak Yesus. Sepanjang perjalanan aku membaca buku itu. Dalam “Kisah Satu Jiwa” itu, aku tidak hanya menemukan panggilanku, melainkan juga, aku menemukan Allah secara istimewa.
Pada bulan Oktober 1924, di hari-hari Kongres Ekaristi di Meksiko, aku merasakan perubahan dalam diriku. Itulah saat dimana belas kasih Allah menyentuhku dan aku tidak dapat menolaknya. Cinta Allah menarikku dengan kekuatan yang tidak dapat dilawan. Aku hanya ingin mencintai-Nya dan memberikan diriku sepenuhnya pada Allah. Ekaristi adalah satu-satunya gairahku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk bersedia dioperasi, agar dapat mempersembahkan penderitaanku pada Allah. Setelah itu, pada tanggal 8 sampai 12 Desember tahun yang sama, aku merasakan rahmat yang tidak terlupakan dari Bunda Allah. Kelembutan dan cintakasihnya menghujani hatiku. Sejak saat itu, aku tidak mampu terpisah dari Bundaku.
Pada Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam, tahun 1926, aku membaktikan diriku untuk pertama kalinya pada Sang Belas Kasih. Sejak saat itu, Allah membawaku melalui perjalanan matiraga serta penderitaan batin yang sangat berat karena keinginanku yang sangat besar untuk menjadi milik-Nya sepenuhnya, namun hal itu tidak dapat segera terlaksana akibat pengejaran agama di Meksiko sejak tahun 1926-1931.
Tahun-tahun itu merupakan masa persiapan yang sangat berguna bagi jiwaku, sebab aku menghayatinya dalam hidup kontemplasi, dengan hidup doa yang mendalam, yang merupakan gairah terbesar dari jiwaku.
…akhirnya pada tahun 1929 aku dapat masuk biara di Los Angeles, California…
Berlalulah dengan cepat hari-hari masa postulanku (6 bulan, dalam kegembiraan yang berlimpah-limpah). Komunitas yang baru tiba di tempat pengasingan ini sangat miskin; aku sering kali merasa lapar, namun bagiku itu tidaklah penting; semua itu merupakan kurban-kurban untuk membeli jiwa bagi surga. Setelah selesai membersihkan rumah, satu-satunya teman postulan dan aku, kami diberi tugas menjahit pesanan dari sebuah toko yang membayar kami dengan cukup baik, namun pekerjaan ini dilakukan dengan duduk di lantai. Bagiku, sepanjang hari duduk dan harus duduk di lantai, adalah benar-benar melelahkan.
Dalam hal ini dan banyak hal lainnya, aku mengagumi belas kasih Allah yang tiada habisnya kepadaku yang papa ini, sebab seberapa pun beratnya pekerjaan, Tuhan dan Bunda Maria mengajarku untuk memanfaatkan semua itu untuk dipersembahkan dengan cinta kepada Allahku, tiap jahitan yang kubuat dipersatukan dengan jasa-jasa tak terhingga dari Yesus, untuk menyelamatkan semua jiwa di dunia. Bersama dengan intensi ini, aku juga mempersatukan banyak intensi lain, sebab begitu tidak terhingga besarnya jasa-jasa Tuhan dan tidak terbagi-bagi, maka dengannya dapat dipersembahkan satu intensi ataupun intensi-intensi yang tak terhitung jumlahnya. Dan dalam hal ini, Tuhan mengajarku untuk memiliki ambisi yang besar, untuk memohonkan bagi: ibu kita, Gereja yang kudus, dengan segala kebutuhan dan intensinya; pertobatan bagi para pendosa dan bagi mereka yang belum mengenal Allah; keselamatan bagi anak-anak dan kaum muda; kesucian keluargaku yang terkasih; istirahat kekal bagi jiwa-jiwa di api penyucian; kesucian bagi para imam, dan lain sebagainya. Dan intensi ini selalu kupanjatkan, seperti burung-burung yang terbang.
Syukur kepada Allah, setelah lewat beberapa bulan menjahit dengan tangan dan dengan duduk di lantai, (menurut kebiasaan lama dari Ordo, yang kemudian dihapuskan oleh Ibu Pemimpin), beliau menganggap bahwa lebih baik aku diberi pekerjaan yang lain. Pekerjaan tersebut adalah menerima pakaian untuk dicuci dari keluarga-keluarga kenalan. Aku tidak ahli di bidang itu, namun kehendak yang baik dan cinta memudahkan segalanya; selain itu aku masih dapat bergerak dengan cekatan; jumlah pakaiannya yang sangat banyak tiba pada hari Senin dan pada hari Jumat harus diserahkan sudah dengan disetrika. […] Benar-benar pekerjaan yang sangat berat…
Demikianlah berlangsung masa novisiatku di Los Angeles, California. Aku harus katakan bahwa Tuhan memilihkan tanggal-tanggal yang sangat indah bagi PESTA-PESTAku. Penerimaan jubah pada tanggal 8 Desember 1929, ULANG TAHUN INTAN DINYATAKANNYA MARIA
Meski di tengah semua penderitaan itu, karena rahmat Allah, semua itu tidak mampu merampas kegembiraanku, baik eksterior maupun interior. Kegembiraan yang terutama memenuhi jiwaku ketika dapat mempersembahkan kepada Allah, tubuh yang, meski tidak seorang pun melihatnya karena air mukaku yang baik, penuh rasa tidak enak dan sangat lemah, yang bagaikan lilin kecil yang habis dimakan api. Dan di saat-saat itulah sedikit demi sedikit menjadi matang kerinduanku untuk mejadi MISIONARIS, dalam arti sebenarnya (bukan karena aku berhenti berpikir bahwa melalui doa dan kurban tersembunyi dapat menjadi misionaris)… bukan karena apa-apa, hanya saja aku ingin menegaskan bahwa aku rindu untuk melakukan apa yang banyak dinasihatkan oleh Santo Paulus, untuk mengirim pewarta-pewarta Injil agar banyak orang menerima Sabda Allah dan seterusnya. Dengan merenungkan kata-kata tersebut dan juga kata-kata lain dari Santo Paulus dan dari Yesus sendiri, aku sampai pada kesimpulan bahwa Allah memintaku untuk melakukannya, karena bila kami memang harus bekerja keras untuk dapat hidup, lebih baik bila kami mengerjakan apa yang diminta Santo Paulus dan Yesus sendiri itu, meskipun hal itu berarti harus bekerja lebih keras lagi untuk kepentingan langsung dari jiwa-jiwa, untuk dapat mengirim para pewarta Injil ke negeri-negeri yang belum mengenal Allah, dan dengan demikian dapat memenangkan banyak jiwa untuk surga.
Ya, anak-anakku, masalah ini membesar dan terlebih membuatku menderita. Jiwaku mulai merasa ragu, sebab aku merasa sangat bahagia di komunitasku, suster-suster dan pemimpin menyayangiku. Aku hanya berkata kepada Yesusku agara menunjukkan kehendak-Nya, sebab hanya itulah yang ingin kulakukan.
Aku lanjut mendedikasikan diri dan jiwa untuk para novis, saat itu aku adalah ibu novis.
Setelah waktu berlalu cukup panjang, aku tidak ingat berapa bulan dan… kerinduan untuk pergi bermisi kembali lagi, kerinduan untuk mendirikan kongregasi untuk mengirim duta-duta Sabda Allah. Hal itu membuatku menderita dan mengambil pilihan untuk: TIDAK BERBICARA SATU PATAH KATAPUN TENTANG HAL ITU. Aku hanya berkata kepada Tuhan; jika ini adalah kehendak-Mu, Engkau sendirilah yang akan mewujudkannya.
Tidak lama sesudah peresmian kapel yang baru, ada pemilihan pemimpin (abadesa), seperti yang menjadi kebiasaan dalam Ordo-Ordo tertentu. Delapan hari setelah pemilihan tersebut, dewan penasihat komunitas berkumpul untuk membagi tugas-tugas dan sebagainya. Dan setelah berbicara tentang semua yang berhubungan dengan hal itu, pemimpinku yang baru, yang sebelumnya kami panggil dengan sebutan “Nuestra Madre Maria”, berkata kepada semua dewan bahwa Pastor Oñate telah berkata bahwa Bapa Uskup Agung telah bertanya kepada beliau kapan pendirian yang diinginkan itu akan dilaksanakan.
Kalian dapat bayangkan seperti apa terkejutnya aku. Aku tidak pernah lagi berbicara tentang kerinduan itu kepada siapapun, hanya kepada Allah, meski ketika aku memiliki beberapa kesempatan untuk berbicara kepada Pastor Oñate. Aku ingin agar kehendak Allah terjadi dengan sendirinya. Dan terjadilah demikian.
Lalu pemimpinku memintaku keluar dari pertemuan agar mereka dapat mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari pendirian kongregasi baru. Setelah lewat beberapa waktu mereka memanggilku dan pemimpinku berkata, di hadapan 3 orang dewan penasihat yang lain bahwa hasil pemungutan suara untuk pendirian kongregasi itu adalah MUTLAK. Kegembiraan, kebahagiaan, penderitaan, ketidakpastian, aku tidak tahu lagi berapa banyak yang bertimbun dalam benakku. Namun terlihat sudah bahwa inilah kehendak Allah, dan aku meminta ijin pemimpin untuk mulai bergerak melihat hal tersebut.
Demikianlah setelah diputuskan pendirian Kongregasi baru itu, aku harus mengundurkan diri dari tugas sebagai Ibu Novis.
Pendirian Kongregasi ini dilakukan dengan ijin-ijin yang seharusnya dan, tidak lain hanya dengan kerinduan untuk melakukan Kehendak Allah, hingga pada saatnya pemilihan para suster yang ingin ikut bersama saya untuk memulai pendirian baru ini di Cuernavaca. Kakak iparku memiliki beberapa lahan di Privada de la Selva (Cuernavaca) dan menawarkan supaya aku memilih lahan yang kusuka dengan membayar setengah harga saja. Pembangunan harus dimulai dan saat itu kami tidak punya uang sama sekali. Penyelenggaraan Illahi sedang menguji iman kami. Hari berlalu menjadi bulan, dimana kami mengalami kesedihan, sukacita, keraguan, kegembiraan, semua bercampur dalam satu kepercayaan yang besar kepada Allah.
Pada tanggal 2 Agustus 1945, kami menerima dokumen dari Tahta Suci yang mengesahkan pendirian di Cuernavaca. Aku, bersama 5 suster lainnya pergi untuk mulai tinggal di sana, di rumah yang disediakan oleh kakak iparku. Tanggal 25 Agustus 1945, dirayakanlah Misa Kudus yang pertama di rumah itu dan Sakramen Mahakudus ditahtakan sepanjang hari sebagai ucapan syukur kami. Allah berbelas kasih pada karya ini. Bukan karyaku. Ini adalah karya-Nya. Aku hanyalah alat-Nya yang tidak berguna, yang tidak mampu, namun Dia memakaiku.
Sejak saat itu, mulailah bertumbuh panggilan-panggilan baru. Kongregasi kecil ini juga harus mengalami empat musim, dan tidak jarang, musim dingin itu sangat berat.
Karya ini bukanlah milik Maria Ines Teresa, melainkan hanya milik Allah saja.
Panggilanku sejak awal adalah sebagai misionaris, karena itulah aku menyembunyikan diri dalam biara tertutup, karena aku tahu, doa dan kurban dapat lebih banyak menyelamatkan jiwa daripada sekedar karya. Dan akhirnya, dari panasnya perapian doa itulah lahir karya ini, hingga sekarang aku adalah seorang MISIONARIS CLARIS.
Pada tanggal 17 Juni 2001, di daerah Guadalajara, Meksiko, terjadilah mujizat pada seorang anak kecil laki-laki bernama Francisco Javier Carrillo Guzmán yang saat itu berumur 15 bulan. Paquito, panggilan anak itu, ditemukan mengapung di kolam renang di rumahnya. Neneknya, mengajak seluruh keluarga untuk berdoa dan memohon perantaraan Madre Maria Ines untuk kesembuhan anak itu.
Paquito dibawa ke rumah sakit dan selama 35 menit para dokter berusaha untuk mengembalikan hidupnya, namun tidak berhasil. Akhirnya dia dipasangi ventilator untuk memasukkan oksigen ke dalam tubuhnya. Hal itu membantu, namun tetap tidak ada respon motorik apapun. Pupilnya sudah membesar dan dia tidak dapat bernafas sendiri. Lima hari kemudian, keadaannya memburuk dan dia mengalami gagal multi organ sehingga para dokter memutuskan untuk mencabut alat-alat penopang hidupnya agar penderitaan anak ini tidak diperpanjang.
Pada hari itu, tanggal 22 Juni 2001 para Suster Misionaris Claris merayakan Misa Kudus untuk mengucap syukur atas pesta emas transformasi Kongregasi, dan keluarga Paquito ada yang ikut datang. Bersama semua suster, mereka memohonkan kesembuhan Paquito melalui perantaraan Madre Maria Ines. Dan malam harinya, keadaan Paquito mulai berangsur membaik.
Ketika akhirnya berlalu masa kritisnya. Para dokter memperkirakan bahwa Paquito akan menderita akibat kerusakan yang luas, terutama dalam aspek neurologis. Namun, tanpa dapat dijelaskan secara ilmiah, Francisco Javier pulih secara total.Setelah mengalami proses yang panjang sejak dibukanya proses beatifikasi tahun 1992, pada tanggal 21 April 2012, Madre Maria Ines Teresa dari Sakramen Mahakudus, digelari Beata di Basilik Bunda Maria Guadalupe, Meksiko.
Saat ini, tubuh Madre Maria Ines berada di Rumah Jendralat para Suster Misionaris Claris dari Sakramen Mahakudus di Kota Roma, Italia.