“Dipuji dan diberi syukurlah selama-lamanya,” demikian doa yang biasa dilantunkan oleh seorang suster Misionaris Claris ketika hendak adorasi atau sembah sujud di hadapan Sakramen Maha Kudus. Doa atau salam itu kemudian dibalas oleh para suster yang sedang adorasi dengan jawaban, “Sakramen Ilahi yang Maha Kudus.” Adorasi merupakan salah satu kegiatan harian bagi para Suster Misionaria Claris, yang waktunya diatur sesuai acara komunitas masing-masing. Ada komunitas yang waktu adorasinya malam hari dan ada yang pagi hari.  Adorasi adalah suatu Latihan Rohani dengan diam di hadapan Yesus Ekaristi untuk mendengarkan suara lembut-Nya yang selalu mengasihi, mengampuni, menasihati, serta memanjatkan permohonan untuk berbagai kebutuhan, baik untuk sesama, komunitas maupun untuk diri sendiri. Beata Maria Ines, dalam buku Hati Misionaris Claris Sebagai Kecapi, mengatakan:

“Ketika sampai waktumu adorasi, waktu yang amat  indah itu, siapkanlah dirimu beberapa detik untuk-Nya dengan doa batin, cinta dan kerendahhatian, sambil mengakui dirimu tak pantas hadir pada pertemuan yang disediakan bagimu oleh Raja Surgawi…”

            Saat adorasi, kita memandang Sakramen Maha Kudus yang ditakhtakan di atas altar dan diapit oleh lilin yang menyala, lambang terang Yesus yang selalu menyinari langkah hidup manusia, karena Yesus tidak menginginkan seorang pun jatuh dalam kegelapan dosa. Jika lilin di altar padam karena telah meleleh sampai habis, biasanya seorang suster bergegas untuk mengganti dengan yang baru.

Meleleh sampai habis, itulah Yesus Ekaristi yang sedang disembah. Dia memberikan diri sebagai terang hingga wafat di kayu salib demi menebus dosa umat manusia. Lilin yang dihidupkan kembali ketika padam, menginspirasi kita untuk tetap berjalan bersama Yesus, Sang Terang, ketika lilin hidup kita sendiri padam karena salah dan khilaf yang mewarnai langkah laku hidup kita. Seperti Yesus Ekaristi, kita pun menyerahkan diri sehabis-habisnya melalui pelayanan sesuai panggilan hidup kita, baik sebagai kaum berjubah maupun sebagai bapak-ibu dalam keluarga.

            Kadang api lilin meliuk-liuk karena tertiup angin. Kadang api lilin tetap mampu bertahan, tapi tidak jarang angin itu pun dapat menyebabkan api lilin padam. Demikian pula hidup kita, kadang seperti api lilin yang menyalanya tidak tegak lurus tetapi meliuk-liuk, akibat tergiur tawaran kenyamanan dunia yang menjauhkan kita dari semangat berkorban, bermati raga, menerima apa adanya, merasa cukup dengan yang saya miliki, membeli karena membutuhkan bukan karena menginginkan, dan hal-hal lainnya.

            Alam menyiapkan segalanya yang dapat menginspirasi kita untuk selalu waspada, jangan sampai kita tidak mempunyai tabungan keutamaan sebagai bekal ketika kita menghadap Sang Empunya Kehidupan, yaitu Tuhan sendiri. Salah satu inspirasi itu adalah lilin. Lilin yang setiap hari kita lihat, membantu mengingatkan kita untuk menjadi lebih baik, hari demi hari. Terima kasih lilin yang ada di atas altar, yang kadang menyala tegak lurus, kadang meliuk-meliuk, kadang padam dan menyala kembali. Keberadaanmu menjadi bahan renungan yang membawa makna tersendiri dalam hidup kami.

 

Sr. Maria Lordes Uran, M.C.

Tambahkan Komentar Anda