“…dan segera mengalir keluar darah dan air” (Yoh.19:34).
Pada saat Yesus wafat di kayu salib, lambung-Nya ditikam dengan tombak oleh seorang prajurit (bernama Longinus), dan mengalirlah darah dan air. Darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus itu adalah lambang dari cinta dan kasih Allah kepada kita. Cinta dan kasih Allah sejak awal mula dunia sampai sekarang terus mengalir, meski pun kita, manusia, selalu berbuat dosa. AIR dari lambung-Nya mengalir untuk membersihkan kita dari kehinaan dan kenistaan. DARAH mengalir untuk menghidupkan kita kembali dalam harapan dan semangat baru.
Marilah kita mengenal Hati Allah, hati yang tak pernah berhenti berdetak; suatu nyala api kasih abadi yang tak terpadamkan oleh apa pun di atas bumi ini.
Hati Yesus adalah tanda dan simbol utama dari cinta Allah bagi manusia. Hati-Nya adalah Sumber Kasih. “Hati Kudus Yesus” sebagai sumber dan kepenuhan kasih yang dicurahkan ke dunia. Kasih Allah dicurahkan ke dalam hati setiap manusia.
Kenyataannya, manusia yang rapuh dalam segala dimensi hidupnya seringkali takut menghadapi diri dan hatinya sendiri. Kita belajar dari Tuhan Yesus yang memiliki dan menyimpan Hati Allah yang mahakudus. Maka kita perlu terus kembali kepada Hati Yesus, sumber penebusan dan kehidupan; yang dari pada-Nya semua umat beriman diberi makan dan minum dari kurban-Nya dalam Ekaristi yang menjadi kekuatan hidup kita.
Untuk itu kita juga perlu terus kembali ke dalam hati kita, tempat ingatan yang hidup akan Dia yang mencintai kita. Marilah kita kembali ke hati, membiarkan diri dipandang oleh kasih-Nya, agar kita mulai tinggal di dalam Hati Yesus yang Mahakudus, berakar di dalam Hati-Nya, tumbuh dan berbuah dalam kasih Allah Tritunggal.
Gereja Katolik dan kita sebagai umat Katolik, percaya bahwa Yesus memiliki hati yang mahakudus, yakni hati yang mampu mengasihi dan berbelas kasih tanpa batas. Maka sudah selayaknya, bahkan seharusnyalah, kita semua belajar dan mendidik diri untuk memiliki hati seperti Hati Yesus.
Justru dalam segala keterbatasan itulah sebagai manusia, kita tak perlu lelah berusaha, berjuang untuk memiliki hati yang menyerupai Hati Yesus. Tidakkah kita senantiasa mohon kepada Tuhan dalam doa “jadikanlah hati kami seperti Hati-Mu”? Mungkin saja sampai saat ini, doa itu sebagai doa tertulis dan bahkan doa hafalan belaka. Belum sempat sepenuhnya direfleksikan dan direnungkan dalam hati kita masing-masing.
Marilah kita belajar dari apa yang direnungkan oleh beberapa orang kudus dan saleh, tentang Hati Kudus Yesus yang menyentuh hati mereka dan kiranya cocok untuk kehidupan kita sehari-hari hingga saat ini.
Dikisahkan dalam penglihatan St. Margareta Maria Alacoque, Yesus meminta Gereja untuk menghormati Hati-Nya yang Paling Suci (artinya: Mahakudus), tetapi juga Hati yang paling menderita dalam Kemanusiaan-Nya yang Kudus. Maka sejak itulah banyak orang mulai berdoa dan berdevosi kepada Hati Kudus Yesus. Doa itu kemudian terus populer hingga sekarang ini.
St. Theresa dari Lisieux dalam doa dan harapannya mengungkapkan: ”Tuhanku Yesus Kristus, Engkau mendengar aku dan Kaulah teman yang kucintai. Untuk menebus hatiku, Engkau menjadi manusia dan rela menumpahkan darah-Mu.”
St. Yohanes Paulus II, seorang Paus zaman ini yang telah menjadi orang kudus mengatakan bahwa: dalam Hati Kudus Yesus semua kekayaan, hikmat dan pengetahuan tersembunyi. Dalam Hati Ilahi ada cinta Tuhan yang tak terbatas untuk semua orang; untuk kita masing-masing.” Beliau mau menyatakan bahwa Hati Yesus merupakan kekayaan dan sumber segala-galanya yang kita butuhkan untuk hidup di dunia ini.
Kalau para kudus dan orang yang pantas dihormati tadi bisa menghayati Hati Kudus Yesus seperti itu, lalu bagaimana dengan kita yang hidup sebagai umat beriman zaman sekarang? Tidakkah kita juga bisa menimba kekayaan Hati Kudus Yesus sebagai modal untuk menjadikan diri kita ‘nabi2 cinta kasih’ di zaman modern ini?
Dalam HATI MAHAKUDUS TUHAN, kita tetap berdoa penuh harap:
‘Semoga Hati Yesus hidup dalam hati semua manusia’
Sr. Margareta Maria Alakok Bhia, M.C.