Juan Bautista Scalabrini – Artémides Zatti
(diterjemahkan dari www.vatican.va)
Sementara Yesus berjalan, sepuluh orang kusta yang berdiri agak jauh dan berteriak, “Kasihanilah kami” (bdk. Luk. 17:13). Kesepuluh orang kusta itu disembuhkan, namun hanya satu dari mereka yang kembali dan mengucapkan syukur kepada Yesus, dia adalah seorang Samaria, yang dianggap orang asing oleh bangsa Yahudi. Pada awalnya, sepuluh orang itu berjalan bersama, namun kemudian orang samaria itu membuat perbedaan dengan kembali “ sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring” (ay. 15). Marilah kita renungkan dua aspek yang diberikan Injil hari ini: berjalan bersama dan bersyukur.
Pertama-tama, berjalan bersama. Pada awal kisah, tidak terdapat perbedaan antara orang samaria dengan sembilan orang yang lain. Hanya dikatakan sepuluh orang kusta yang membentuk satu kelompok, tanpa perbedaan, dan mereka menjumpai Yesus. Kusta, seperti kita tahu, bukan sekedar luka fisik, melainkan juga suatu ‘penyakit sosial’, karena takut akan penularannya, pada masa itu orang-orang kusta harus tinggal di luar komunitas (bdk. Im. 13:46). Mereka tidak boleh masuk ke desa, orang-orang menjaga jarak dari mereka. Teriakan orang-orang kusta itu mengekspresikan keterpisahan mereka dari masyarakat. Perhatikanlah baik-baik, meski orang samaria itu dianggap sebagai orang asing, dia pun termasuk dalam kelompok bersama orang-orang lainnya. Saudara dan saudari, penyakit dan kelemahan pada umumnya dapat meruntuhkan pembatas apa pun.
Ini juga merupakan gambaran yang indah bagi kita, karena ketika kita jujur kepada diri sendiri, kita ingat bahwa kita semua memiliki hati yang sakit, bahwa kita semua ini adalah pendosa, dan kita semua membutuhkan belaskasihan Bapa. Maka, marilah kita berhenti memisah-misahkan diri berdasarkan jasa, berdasarkan peran yang kita miliki, atau berdasarkan aspek-aspek eksterior lain dalam hidup. Jika pembatas interior kita dapat runtuh, maka tidak akan ada lagi prasangka-prasangka, dan pada akhirnya kita akan melihat satu sama lain sebagai saudara. Juga Naaman, orang Siria itu, seperti dikisahkan pada bacaan pertama, meski dia kaya dan berkuasa, untuk sembuh harus melakukan satu hal sederhana yaitu membenamkan dirinya di sungai dimana semua orang lainnya biasa mandi di sana. Pertama-tama kita harus melepaskan baju perang (bdk. 2 Raj. 5), senjata dan pertahanan-pertahanan eksterior kita, lalu membenamkan diri pada air kerendahan hati, mengingat segala kerapuhan dalam diri kita, kita semua membutuhkan penyembuhan; kita semua adalah saudara. Ingatlah bahwa iman kristiani selalu meminta kita untuk maju bersama-sama dengan orang lain, tidak pernah sebagai seorang peziarah yang berjalan sendirian. Kita selalu diundang untuk keluar dari diri sendiri dan menuju kepada Allah, menuju para saudara, dan tidak menutup diri. Kita selalu diundang untuk menyadari bahwa kita butuh penyembuhan dan pengampunan. Kita diundang untuk berbagi kerapuhan dengan orang-orang di sekitar kita, tanpa merasa superior dari orang lain.
Saudara dan saudari, marilah kita buktikan bahwa dalam hidup, keluarga, dan lingkungan kerja, kita dapat berjalan bersama dengan orang lain, kita mampu mendengarkan, mampu mengalahkan godaan untuk mengandalkan kemampuan diri dan memikirkan hanya kebutuhan diri sendiri. Berjalan bersama berarti menjadi ‘sinodal’, ini juga adalah panggilan Gereja. Mari kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita sungguh-sungguh merupakan komunitas yang terbuka, yang menerima semua orang; apakah ita mampu bekerja sama, para imam dengan kaum awam, demi pewartaan Injil; jika kita memiliki sikap penerimaan yang diekspresikan dalam tindakan nyata, dan bukan sekedar kata-kata, kepada mereka yang jauh dan yang mendekat kepada kita. Apakah kita sudah membuat mereka merasa menjadi bagian dari komunitas atau justru kita menyingkirkan mereka? Saya kuatir ketika melihat komunitas-komunitas kristen yang memisah-misahkan dunia dengan yang baik dan yang buruk, antara orang kudus dengan orang berdosa. Dengan cara demikian, kita menunjukkan bahwa kita ini lebih baik dari orang lain, dan sikap ini justru menjauhkan orang-orang yang ingin dipeluk Allah. Tolonglah, kita harus selalu menerima, baik dalam Gereja maupun masyarakat yang penuh dengan ketidaksetaraan dan marginalisasi. Menerima semu orang.
Hari ini, saat Scalabrini digelari kudus, saya ingin berdoa bagi para kaum migran. Menyingkirkan kaum migran adalah suatu kejahatan. Dengan menyingkirkan mereka, berarti kita melihat mereka mati di hadapan kita. Karena itulah saat ini daerah Mediteran menjadi taman makam terbesar di dunia. Menyingkirkan kaum migran adalah dosa, adalah kejahatan, karena kita tidak mau membukakan pintu bagi mereka yang membutuhkan. “Jangan! Jangan menyingkirkan orang lain, lebih baik kita kirim mereka ke tempat lain: ke kamp konsentrasi, dimana mereka dimanfaatkan dan dijual sebagai budak.” Saudara dan saudari, marilah hari ini kita mendoakan kaum migran, mereka yang telah meninggal. Marilah kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita menerima saudara-saudari kita yang berusaha masuk, ataukah kita justru memanfaatkan mereka? Saya hanya ingin meninggalkan pertanyaan ini bagi kalian.
Aspek yang kedua adalah bersyukur. Dalam kelompok sepuluh orang kusta, hanya ada satu orang saja yang kembali dan memuliakan Allah, serta menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Yesus. Kesembilan orang lainnya juga sembuh, namun mereka meneruskan perjalanannya, melupakan Dia yang telah menyembuhkan mereka. Melupakan rahmat-rahmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Orang samaria, sebaliknya, menerima berkat sebagai sebuah awal perjalanan baru. Dia kembali kepada Dia yang telah menyembuhkan, pergi untuk mengenal Yesus lebih dekat dan mulai membangun relasi dengan Dia. Sikap tahu terima kasihnya bukan sekedar bentuk kesopanan, melainkan suatu awal perjalanan penuh syukur. Dia tersungkur di depan kaki Yesus (bdk. Luk. 17:16). Artinya, dia menunjukkan sikap adorasi, mengakui Yesus sebagai Tuhan, dan bahwa Dia lebih penting dari kesembuhan yang baru diterimanya.
Saudara dan saudari, ini juga adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, supaya kita bersyukur atas segala karunia Allah setiap hari, namun yang seringkali kita meneruskan perjalanan begitu saja dan melupakan untuk membangun suatu relasi yang hidup, relasi yang nyata dengan Dia. Ini adalah suatu penyakit rohani, penyakit iman yang berdampak pada relasi kita dengan Allah, bahkan hingga bisa membuat kita menjadi orang-orang kristen yang tidak mampu lagi mengagumi, mengucapkan ‘terima kasih’, yang tidak mampu menunjukkan rasa syukur, yang tidak mampu melihat keajaiban Tuhan. Kita menjadi ‘orang-orang kristen yang dangkal’, seperti yang dikatakan seorang ibu yang saya kenal. Dengan cara demikian kita menerima semua anugerah setiap hari seolah-olah kita layak menerimanya. Rasa syukur, kemampuan untuk mengatakan ‘terima kasih’ membawa kita untuk memberi kesaksian akan kehadiran Allah-Cinta, dan mengakui betapa pentingnya kehadiran orang lain, mengalahkan rasa tidak puas dan ketidakpedulian yang merusak hati kita. Tahu berterima kasih itu sangatlah penting. Setiap hari, berterima kasih kepada Tuhan, belajar untuk berterima kasih di antara kita: dalam keluarga, untuk setiap hal-hal kecil yang kita terima; di tempat-tempat kita berada setiap hari, atas banyaknya pelayanan yang kita terima, untuk orang-orang yang mendukung kita; dalam komunitas-komunitas kristiani, dimana kita merasakan cinta Allah lewat kedekatan para saudara yang sering kali berdoa bagi kita dalam hening, membantu, menderita dan berjalan bersama kita. Tolong, jangan pernah kita lupa untuk mengatakan kata kunci ini: ‘terima kasih!’ Jangan kita lupa untuk mendengar dan mengatakan ‘terima kasih’.
Kedua orang kudus yang dikanonisasi hari ini mengingatkan kita akan pentingnya berjalan bersama dan mengucapkan syukur. Uskup Scalabrini, yang mendirikan dua Kongregasi untuk merawat kaum migran, satu Kongregasi maskulin dan yang lain feminim, menegaskan bahwa dalam perjalanan para kaum migran tidak hanya penuh dengan permasalahan, melainkan juga rencana Penyelenggaraan Illahi: “Justru berkat migrasi yang terjadi karena pengejaran, Gereja dapat menyeberangi perbatasan Yerusalem dan Israel menjadi ‘katolik’. Berkat kaum migran, Gereja saat ini menjadi alat perdamaian dan persatuan antara bangsa-bangsa” (bdk. L’emigrazione degli operai italiani, Ferrara 1899). Saat ini di Eropa, terdapat migrasi yang membuat kita sangat menderita dan menggerakkan hati. Migrasi dari bangsa Ukraina yang mengungsi dari perang. Jangan kita lupakan negara Ukraina yang sedang menderita saat ini. Scalabrini memandang lebih jauh, dia memandang masa depan, ke arah dunia dan Gereja yang tanpa batasan, tanpa orang asing.
Di pihak lain, Artémides Zatti, seorang religius Salesian, dengan sepedanya menjadi teladan syukur yang besar. Setelah sembuh dari tuberkulosis, dia mendedikasikan hidupnya untuk melayani kebutuhan orang lain, merawat orang sakit dengan cinta dan kelembutan. Dikatakan bahwa pernah terlihat dia menggotong jenazah salah satu pasiennya di atas pundaknya. Penuh syukur terhadap apa yang sudah diterimanya, dia ingin menunjukkannya dengan tindakan nyata, yaitu dengan berbagi penderitaan dengan orang lain.
Marilah kita berdoa agar teladan kedua saudara kita yang kudus ini, membantu kita untuk mampu berjalan bersama, tanpa tembok penghalang yang memisahkan; dan menumbuhkan keluhuran jiwa yang berkenan kepada Tuhan, yang adalah rasa syukur.