Ada seorang gadis muda yang pernah menceritakan kisahnya dalam suatu perjumpaan: “Saya merasa hidup saya telah berakhir, tidak ada kebahagiaan”, demikian ucapan untuk membuka cerita hidupnya. “Saya selalu berusaha mencari pembenaran diri untuk mengakhiri hidup saya, yang saya pikir sudah tidak ada artinya lagi. Apa yang saya lakukan selama ini terasa hampa dan saya merasa bahwa hidup saya saat ini hanyalah proses mengulur waktu untuk semakin merasakan penderitaan, yang pada ujungnya adalah kebinasaan dan kesia-siaan…”
Demikianlah sepenggal kisah curahan hati dari seorang gadis muda yang melihat hidupnya tanpa harapan lagi.
Dalam kemajuan dunia yang didominasi oleh budaya instan, budaya ‘copy paste’ yang tengah menggeroti daya juang masyarakat saat ini, kata “harapan” dirasakan sebagai suatu ungkapan kosong yang melemahkan arah hidup karena tidak ada gambaran yang nyata dan cepat. Orang merasa, ketika mengalami kegagalan maka selanjutnya tidak akan ada keberhasilan; ketika mengalami kecemasan selanjutnya tidak akan ada harapan mencapai kebahagiaan; ketika ada air mata selanjutnya tidak akan ada sukacita; dan banyak hal lain lagi yang mudah menghancurkan harapan.
Kisah curahan hati seorang gadis muda di atas memberi gambaran telah hancurnya harapan dalam hidup masyarakat saat ini, kekecewaan lebih menjadi fokus utama daripada sukacita dan kegembiraan, kegagalan menjadi utama daripada keberhasilan sehingga orang cenderung berlama-lama menangisi kegagalan dan kesedihan daripada merasakan damai dan sukacita. Harapan telah terkikis oleh budaya yang ingin cepat tanpa proses, budaya ‘undo typing’ daripada mengetik ulang huruf demi huruf.
Tahun Yubileum memanggil kita untuk menjadi “peziarah pengharapan”, melakukan perjalanan dengan kepercayaan yang diperbarui pada janji-janji Allah. Menjadi anak-anak Allah berarti berjalan dengan kepastian bahwa kita dikasihi dan dipanggil untuk memancarkan kasih tersebut. Di ujung jalan hidup kita ada janji yang telah Allah berikan pada kita masing-masing. Yang dibutuhkan dari kita adalah: Pertama, sikap setia menjalani dan menapaki hidup kita masing-masing dalam jalan hidup yang dipercayakan Tuhan pada kita. Kedua, berjalan bersama dengan sesama, saling bergandeng tangan, saling menguatkan di antara kita, mengarahkan pandangan pada ujung jalan hidup kita untuk menantikan janji-janji Allah.
Komunitas dan keluarga merupakan tempat setiap hari kita bersama, bergandengan tangan, berjalan bersama mengarahkan pandangan kita pada ujung jalan di mana ada pemenuhan janji-janji Allah bagi kita. Sebagai satu keluarga peziarah pengharapan marilah kita berjalan bersama.
Sr. Petronela Dhiu, M.C.