Sabda bahagia merupakan salah satu ajaran Yesus yang sangat sulit dimengerti dan dipahami secara manusiawi. Bagaimana mungkin orang disebut bahagia ketika hidupnya berada dalam kemiskinan, kelaparan, kesulitan, dan kesedihan? Apalagi jika ia masih dibenci, dikucilkan, dicela dan ditolak. Pesan Sabda Bahagia menjadi sulit dimengerti dan dihayati, karena sungguh bertentangan dengan situasi dunia. Ukuran bahagia di dunia ini adalah ketika seseorang berada pada situasi yang menyenangkan, tidak ada masalah, tidak ada kesulitan, tidak ada kesedihan. Sabda bahagia yang ditawarkan oleh Yesus menjadi semakin sulit dipahami karena justru menawarkan situasi yang tidak menyenangkan, bagaikan jalan sempit, berbatu-batu, licin yang tidak banyak dilalui oleh manusia.  Namun, Sabda Bahagia menjadi mungkin bagi orang yang sungguh memahami kehendak Tuhan dan menghidupinya dengan iman.

Jemaat Kristen awal mengalami banyak tekanan berat, namun mereka tidak meninggalkan Kristus. Hidup mereka justru menjadi kesaksian besar bahwa di dalam Kristus ada kebahagiaan. Inilah yang terjadi pada Gereja di Makedonia: “Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan” (2Kor 8:2).

Hal inilah yang dialami oleh para martir, sehingga mereka menjadi orang kudus. Mereka  telah mengalami banyak penderitaan dan kesulitan, namun mereka menghadapi dan melewatinya dengan semangat. Sebab bagi mereka, dengan mengalami dan merasakan penderitaan-penderitaan dalam hidup, mereka merasakan penderitaan yang dialami oleh Kristus sendiri, dan di sinilah mereka menemukan kebahagiaan.

Salah satu Sabda Bahagia yang ditulis dalam Injil Matius bab 5 ayat 5 berbunyi, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” Kelemahlembutan adalah sikap keredahhatian yang tidak mudah terprovokasi oleh orang lain bahkan dirinya sendiri, dengan keinginan-keinginan yang tidak baik, yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Orang yang lemah lembut tidak marah saat direndahkan, tetapi justru menghargai dan menghormati orang lain. Orang yang lemah lembut tidak berbicara jahat tentang orang lain dan bersikap lembut terhadap semua orang. Orang yang lemah lembut memiliki kepekaan terhadap suara Tuhan dan kebutuhan manusia. Yesus adalah teladan sempurna dari kelemahlembutan. Hal ini tidaklah mudah bahkan tidak mungkin kita capai. Namun dengan perjuangan yang terus menerus dan menyerahkan sepenuhnya dalam tangan Tuhan, demikianlah kita akan menjadi seperti Dia: lemah lembut dan rendah hati.

Beata Maria Ines menulis demikian: “Pertama-tama ‘bumi hatinya sendiri’, ladang kegiatan tempat terjadi pertempuran, di mana mafsu-nafsunya yang tidak baik, dilawan akal budi yang lurus, dan ditaklukkan.”

Dalam setiap tindakan, hati perlu dilibatkan supaya tindakan yang kita lakukan selaras dengan apa yang akan dilakukan, jangan sampai tindakan yang kita lakukan hanya memenuhi keinginan- keinginan pikiran dan nafsu-nafsu kita, sehingga kita kurang mengontrol diri. Orang lemah lembut memiliki bumi ini, yakni pada saat berani menyangkal diri dan menyerahkan kepercayaannya kepada Allah dan pada perlindungan Bunda Maria, meski ketika harus menderita dan membiarkan dirinya dikalahkan. Namun pada saat yang sama, dengan pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya, dia merasa bahagia karena dapat mempersembahkan penderitaannya itu kepada Allah, dan dengan demikian dapat lebih mencintai Allah. Dengan mencintai dan percaya kepada Allah, kita mampu membawa hati orang-orang lain untuk menjadi pewarta kasih Allah.

 

 

Sr. Benedicta Suhananti, M.C.

Tambahkan Komentar Anda