Suasana Natal masih terasa di antara kita. Kandang Natal dan hiasan Natal juga masih terlihat dengan rapi di tempat masing-masing. Diharapkan itu tidak hanya sekedar tradisi di hari Natal, namun mempunyai makna dan berbicara banyak kepada kita tentang makna Natal yang sesungguhnya. Akankah semangat natal yang penuh dengan sukacita, damai dan kegembiraan akan tinggal pada hiasan belaka? Alangkah indahnya jika kita masing-masing menjadi hiasan Natal yang hidup. Kita hiasi dunia dengan pribadi dan hidup kita. Kita bisa menjadi lonceng, pohon Natal, palungan, domba, jerami, malaikat ataupun bintang-bintang.

Kita bisa menjadi lonceng Natal dan sukacita yang memanggil orang berkumpul untuk berdoa bersama sebagai umat Allah. Misalnya di lingkungan atau di tempat kerja, ataupun di dalam karya kerasulan lain, kita bisa mengajak orang-orang yang mungkin selama ini masih kurang aktif di lingkungan serta kegiatan keagamaan lainnya. Kita ajak, kita undang dan kita hampiri mereka untuk ikut kegiatan bersama di lingkungan. Seperti lonceng Natal dari Surga yang terdengar kala itu yang mengajak para gembala berkumpul dan menjumpai Yesus di Betlehem. Kita bunyikan lonceng kita untuk persatuan dan persaudaraan, serta menjadi sukacita bagi orang lain.

Lonceng Natal juga bisa diartikan lonceng perdamaian. Beata Maria Ines senantiasa menggemakan lonceng itu: «Janganlah sekali-kali kita menjadi penyebab dari satu perpecahan, dari suasana yang tidak enak dalam komunitas, bahkan dari suatu perasaan pribadi yang tidak menyenangkan». Singkatnya, kita semua diajak untuk mempraktekkan kepada mereka yang berada disekitar kita, doa ini: «Tuhan, buatlah aku menjadi alat perdamaian-Mu…».  Untuk mencapainya, diharap menghayati dengan tekun penyangkalan diri pada tingkat kepahlawanan yang berlangsung terus menerus (Directorium Spiritualias, Liturgi dan Hidup Berkomunitas MC hal 48).

Kitapun bisa menjadi para gembala yang mengajak orang lain menemukan Tuhan, tidak egois, Marilah kita pergi menjumpai Tuhan… Para gembala yang memiliki hati terbuka, pikiran positif, kepolosan, kesederhanaan serta kerendahan hati, membuat mereka bisa menemukan Tuhan. Allah adalah kudus dan bisa dijumpai dengan kekudusan. Hal ini bisa kita lakukan dengan tidak berprasangka buruk pada orang lain, memaafkan  serta tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain, seperti anak kecil yang setelah bertengkar dengan temannya dan tidak lama kemudian mereka akan bermain bersama lagi, tertawa serta lupa akan kejadian yang telah lalu. Berjalan menuju Tuhan tidak sendirian, tapi mengajak yang lain juga untuk berjumpa dengan Tuhan. Kekudusan itu tidak egois.

Palungan dan jerami. Dua benda yang tampak sederhana namun bisa memberikan kehangatan dan kenyamanan kepada bayi Yesus yang baru lahir. Kita pun bisa memberi kehangatan dan kenyamanan kepada orang lain dengan senyum kita. Senyum yang ramah, senyum persaudaraan kepada setiap orang yang bertemu dengan kita, menerima dengan persaudaraan orang-orang yang datang kepada kita; teman, anak-anak, suami, istri dan bahkan mungkin orang yang tidak kita kenal. “Pada waktu berjumpa dengan sesamanya, hendaknya dia menyapa dengan senyum yang ramah, sambil teringat akan nilai kerasulan dari satu senyum”, demikian kata Beata Maria Ines. Semoga setiap orang yang bertemu dengan kita, pergi dengan rasa damai dan tenang.

Dengan beberapa cara di atas, kita bisa menghadirkan semangat Natal dalam kehidupan keseharian kita. Hari Raya Natal boleh berlalu, hiasan Natal bisa disimpan, tapi semangat natal terus bergema dan bergaung setiap hari untuk memberikan tempat yang nyaman bagi Sang Bayi mungil yang baru lahir, Sang Bayi dalam wajah orang-orang di sekitar kita.

SELAMAT HARI NATAL!

Sr. Andrea Venty, M.C.

Tambahkan Komentar Anda