Teringat sepenggal kisah perjalanan menuju Pulau Sumba dengan kapal ferri beberapa waktu lalu, bagi saya meninggalkan kisah reflektif mendalam yang terbingkai dalam kisah pelepasan diri untuk mengikuti Tuhan.

Di Pelabuhan Waingapu ketika kapal akan berlabuh, ternyata ada sedikit hambatan yakni laut yang sedang pasang sehingga kapal tidak bisa berlabuh sebagaimana mestinya. Para penumpang diarahkan untuk turun melalui jendela samping kapal dan melewati jalan darurat  sempit yang ditambatkan pada dermaga. Penumpang berdesakkan turun melawati pintu yang sempit. Hal ini membuat kami harus sedikit bersabar sambil menyiapkan segenap kekuatan dan keberanian sambil membawa koper dan barang bawaan lain.

Saya mencoba mencari jalan lain dan ‘blusukan’ di tengah kerumunan orang. Dengan penuh perjuangan akhirnya saya tiba pada titik antrian yang Panjang, yakni tangga terjal yang terletak pada dinding kapal.  Rasa kaget, takut, dan ragu-ragu menyelimuti pikiran saya sambil bertanya tentang kemungkinan jalan lain. “Lutut dan kaki saya gemetar ketika melihat tangga yang akan dilewati”, demikian cerita singkat Sr. Yovita, M.C.  dalam ulasan cerita kami hari itu.

Tangga surga, demikian saya memberi nama pada tangga itu sekedar memberikan nuansa rileks dalam hati. Saya berada di bawah tangga tersebut cukup lama hanya untuk sedikit menyiapkan hati sambil mengumpulkan niat dan keberanian yang cukup untuk bisa melewatinya.

Hal pertama yang saya lakukan adalah melihat, mengamati cara para penumpang menaiki tangga demi tangga dan berusaha dengan penuh kehati-hatian sehingga akhirnya bisa melewati semua rintangan yang ada.  Para penumpang melakukan hal yang sama, yakni melepaskan  semua barang bawaan agar bisa melewati tangga tersebut. Ya…. melepaskan agar lebih mudah melewati tangga dan pintu yang sempit.

Demikianlah saya merefleksikan tentang mengikuti Tuhan. Pertama, untuk menuju kepada Tuhan, jalannya tidaklah mudah, butuh perjuangan dan keberanian. Kedua, saya harus berani melepaskan semua agar bisa dengan mudah melewati jalan yang sempit. Meninggalkan segalanya membutuhkan keberanian, melepaskan kelekatan-kelekatan yang ada, melepaskan bayang-bayang ketakutan, keraguan dan kegelisahan, dan menaruh harapan hanya pada Tuhan saja.  

“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23). Sebagai orang yang dibaptis, kita dipanggil untuk mengikuti Tuhan dengan berani menyangkal diri, melepaskan dengan sukarela keakuan, memikul salib dengan gembira dalam kehidupan kita. Kita dipanggil menjadi murid Kristus yang gembira dan penuh sukacita untuk mewartakan kabar gembira kepada sesama.

Sr. Petronela, M.C.

Tambahkan Komentar Anda