Sebagai anak dari orangtua yang super aktif di kegiatan gereja, saat kecil kakak dan saya sering kali dibawa papa mama ketika mereka ada kegiatan, hanya karena kami masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian. Kemungkinan besar karena mereka, mengerti baik seperti apa sifat kedua anaknya, memperkirakan akan menemukan rumah dalam keadaan jungkir balik tunggang langgang kalau kami dibiarkan sendirian dan berkeliaran bebas di rumah. Kakak dan saya juga seringkali menolak dititipkan di rumah orang lain, maka akhirnya kami pun dibawa serta. Biasanya selama mereka berkegiatan, kami diperbolehkan ‘explore’ sejauh tidak keluar dari lingungan gereja tempat kami pergi. Pasti mereka tahu benar bahwa kami akan bosan sampai kering kalau ikut masuk, duduk diam, jadi anak manis selama acara.

Di gereja-gereja yang sering kami kunjungi, tidak jarang saya bertemu dengan suster-suster yang mengundang saya duduk, ngobrol, dan ketika akan beranjak pergi, biasanya mereka merogoh kantong dan memberi saya beberapa permen. Sebenarnya saya tidak ingat lagi apa saja topik yang kami bicarakan, pastinya seputar sekolah dan cita-cita; tapi yang saya ingat, keramahan mereka itu membuat saya tertarik. Tidak jarang di rumah, saya mulai suka berdiri di depan cermin sambil mengenakan handuk sebagai kerudung, dan berpikir: “Suatu hari nanti saya pengen jadi seperti mereka”, meski mungkin salah satu motivasi saya adalah supaya selalu punya permen di kantong.

Dalam hidup, kita pernah punya sosok ‘idola’ yang tindak-tanduk, perkataan dan sikapnya membuat kita kagum. Sosok itu bisa jadi orangtua, guru, katekis, romo, sahabat, bos, dan tentu sosok Yesus sendiri. Tahu gak? Sebenarnya, kita pun punya ‘pancaran’ dari diri kita yang membawa pengaruh pada orang lain, bisa positif bisa juga negatif, bisa kekaguman bisa kekesalan. Segala hal yang kita lakukan, atau tidak kita lakukan, membawa pengaruh pada dunia sekitar kita. Dalam ilmu komunikasi dikatakan ada bentuk komunikasi verbal dan non-verbal yang bisa berupa bahasa tubuh, mimik wajah, bahkan keheningan atau sikap diam. Bayangkan seperti pengharum ruangan, yang hanya diam ditempat seolah-olah pasif dan tidak berbuat apa-apa, tapi memberi pengaruh pada ruangan dengan aroma yang dipancarkan. Hmmm… itu kalau positif! Kalau yang negatif, ya bendanya saja bisa kita ganti dengan yang lain.

Setelah maraknya media-media komunikasi sosial, muncul istilah dan bentuk-bentuk profesi baru, salah satunya adalah ‘influencers’, selebgram. Dalam sebuah dokumen berjudul ‘Towards Full Presence’ yang dikeluarkan Dikasteri untuk Komunikasi pada tanggal 28 Mei 2023 di Vatikan, dikatakan bahwa sebagai umat katolik, pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus ikut terjun dalam dunia digital melainkan bagaimana harusnya kita terlibat. Itu berarti, sebagai umat beriman kepada Yesus, kita diharapkan menjadi influencers melalui kehadiran kita di media-media itu.

Tulisan ini bisa jadi panjang kalau mau membahas tentang bagaimana kami, para suster Misionaris Claris dari Sakramen Mahakudus, berusaha menjadi ‘rasul-rasul di dunia digital’. Jadi daripada memaparkan itu, kalian bisa lihat sendiri di media-media sosial kami. Saya ingin mengutip nomor 77 dari dokumen ‘Towards Full Presence’ yang lengkapnya bisa kalian baca di sini.

“Kehadiran kita di media sosial, umumnya, terfokus pada penyebaran informasi. Oleh karena itu, pemaparan ide, ajaran, pemikiran, refleksi rohani dan sejenisnya, harus sesuai dengan tradisi kristiani. Tapi ini pun tidaklah cukup. Umat kristen harus dikenal tidak hanya karena kemampuannya untuk menjangkau orang lain dengan konten keagamaan yang menarik, tetapi juga karena kesediaan kita untuk mendengarkan, untuk ber-discernment sebelum bertindak, untuk memperlakukan semua orang dengan hormat, untuk menanggapi dengan pertanyaan lebih daripada penghakiman, untuk tetap diam daripada menimbulkan kontroversi, dan menjadi pribadi yang cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah (bdk. Yak. 1:19).

Dengan kata lain, semua yang kita lakukan, baik dengan kata-kata maupun tindakan, harus menjadi kesaksian. Kita hadir dalam media sosial bukan untuk ‘menjual suatu produk’. Kita bukan sedang mempromosikan sesuatu, melainkan mengomunikasikan hidup, hidup yang telah Kristus berikan pada kita. Karena itu, semua umat kristiani harus berusaha, bukan untuk melakukan proselitisme, melainkan untuk memberi kesaksian.”

Sr. Carla Nugroho, M.C.

Tambahkan Komentar Anda