Setiap tanggal 14 September, Gereja merayakan Pesta Salib Suci. Dalam antifon kidung Zakharia tertulis: “Ya Tuhan, Salib-Mu kami sembah, kebangkitan-Mu yang suci kami muliakan dan kami puji, sebab berkat salib itu seluruh bumi dipenuhi sukacita”.

Bagi sebagian orang atau bahkan kita sendiri, bila mendengar kata salib atau memandang salib selalu mengidentikkannya dengan penderitaan. Bagaimana mungkin dalam salib ada sukacita?  Jika kita merenungkan lebih dalam tentang rahasia besar di balik salib, maka kita akan menemukan misteri agung salib yang membuat kita mampu mengerti arti salib sebagai sumber sukacita, seperti yang tertulis dalam antifon kidung Zakharia.

Pengalaman tentang salib sebagai sumber sukacita sering kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari. Seseorang yang sudah mencapai puncak karier atau puncak prestasi pasti melalui proses perjuangan yang tidak mudah bahkan berat, dengan pengorbanan dan air mata.  Melalui proses inilah kita diasah, dibentuk, diarahkan untuk mencapai tujuan atau meraih cita-cita.

Dalam pengalaman rohani, kita mengalami pasang surut, jatuh bangun; ada yang mengatakan bahwa saat seperti itulah kita sedang memikul salib atau sedang mempersembahkan penderitaan bersama dengan penderitaan Kristus di salib. Suatu kalimat yang kedengaran begitu tulus dan mendalam karena kita tahu bahwa di balik salib atau penderitaan yang kita terima akan ada sukacita seperti yang ditulis dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma. Bagi kita yang percaya, kita memiliki pengharapan, bahwa jika kita turut mati bersama Kristus, kita akan dibangkitkan bersama Dia (Roma 6:8).

Salib bagi kita adalah lambang kemenangan karena melalui salib ada kebangkitan. Salib tanpa kebangkitan berarti iman kita sia-sia. Memandang salib bukan semata-mata hanya sebagai tanda pengorbanan atau penderitaan bagi kita umat beriman, melainkan merupakan satu jalan menuju kebangkitan dan kemuliaan. Tanpa Jumat Agung, tidak mungkin ada Minggu Paskah. Salib adalah tanda kasih Allah, karena setiap kali kita merenungkan salib Tuhan Yesus, kita merenungkan kasih Allah yang melampaui segala akal, Allah yang mahamulia telah meninggalkan kemuliaan surga demi kasih-Nya kepada kita. Ia mengosongkan diri, mengambil rupa sebagai hamba dan wafat di kayu salib untuk menebus dosa kita manusia (Fil. 2:6-8).

Paus Fransiskus pernah berkata; bila kita berjalan tanpa salib, kita bukanlah murid Tuhan.

Maka setiap kali kita mengalami pergulatan hidup, hendaklah kita berpaling pada salib, menyadari bahwa Tuhan Yesus lebih dahulu memanggul salib sebagai teladan bagi kita, sebab melalui salib kita diperbaharui menjadi manusia berbudi baru agar kita sanggup melaksanakan apa yang menjadi kehendak Allah dalam setiap situasi hidup kita. Segala yang sulit menjadi mudah, yang berat menjadi ringan, karena Kristus turut menanggung beban kita.

Syair lagu Salib di Puncak Golgota (PS. 512) yang biasa dinyanyikan pada hari Jumat Agung membantu kita untuk lebih mensyukuri betapa agung dan mulia salib Kristus.

Salib di puncak Golgota salib yang mulia

Sumber rahmat Ilahi, sumber tak kunjung kering, yang memberi kehidupan. Salib yang mulia.

Pohon berbuah cinta, altar tempat Sang Kurban, pandu pejalan yang aman. Salib yang mulia.

Kayu tempat Penebus yang meretas belenggu, dan melepas dari maut. Salib yang mulia.

Tugu pahlawan suci dan mercusuar terang, Kau-lah penunjuk ke Surga. Salib yang mulia.

Tanda tempat mengungsi dari penggoda keji dan cobaan yang bertubi. Salib yang mulia

Puji Syukur no. 512

Sr. Kristina Dhiu, M.C.

Tambahkan Komentar Anda