Syukur bagi Tuhan atas rahmat kemerdekaan yang diberikan-Nya kepada setiap insan bangsa Indonesia, sejak tanggal 17 Agustus 1945 sampai hari ini 17 Agustus 2023.
Secara administratif, Indonesia sudah merdeka selama 78 tahun, tetapi mungkin banyak dari orang Indonesia yang masih bertanya-tanya, “Apakah saya sudah sungguh merdeka?”. Lebih jauh lagi kita bertanya, “Sudahkah saya mengisi kemerdekaan ini demi kesejahteraan bangsaku?”.
Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita melihat seorang tokoh yang merumuskan pernyataan terkenal: 100 % Katolik, 100 % Indonesia. Beliau adalah Mgr. Albertus Sugijapranata, Uskup Katolik Pribumi pertama dari latar belakang keluarga Muslim, tetapi terpanggil menjadi Katolik, suatu agama yang dianggap sebagai agama orang Eropa, yang jadi musuh Asia Timur Raya. Sebelum menjadi Katolik, Mgr. Sugija mengenyam pendidikan di sekolah Katolik milik Imam-Imam Yesuit. Setelah dibaptis Katolik dan memilih menjadi imam, beliau mendapat banyak waktu kesempatan belajar di Eropa. Ketika kembali ke Indonesia, Mgr. Sugija mengungkapkan rahasia pribadinya. Beliau menyatakan salah satu motivasinya menjadi imam bukanlah melulu alasan religius saja, tetapi dorongan rasa nasionalisnya: “Keputusanku untuk menjadi imam itu karena didorong untuk mengabdi bangsa. Saya telah mencari beberapa kemungkinan profesi, tetapi tidak ada yang lebih memuliakan Tuhan dan sekaligus untuk mengabdi bangsa selain menjadi imam.” Kalimat seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia menjadi semboyan orang Katolik Indonesia terhadap Kemerdekaan Indonesia. Banyak pemuda Indonesia waktu itu yang beragama Katolik bergabung dengan Republik, bahkan ada yang gugur untuk Republik Indonesia seperti: Agustinus Adisucipto, Ignatius Slamet Riyadi, Yos Sudarso.
Bagaimana dengan kita? Adakah kita memiliki rasa nasionalis dan benar-benar mengabdi bangsa kita tercinta, Indonesia?
Kamu dipanggil untuk kemerdekaan, maka abdilah satu sama lain dalam cinta kasih
(Gal.5:13)
Marilah kita hidup sewajarnya sebagai orang merdeka! Narasi orang mereka itu ditandai oleh hal-hal sederhana: hormat pada semua orang, mengasihi saudara-saudari dan punya rasa takut akan Allah (1 Ptr 2:17). Betapa tidak merdekanya kita bila ada kebenciaan, dendam dan tindak kekerasan dalam bentuk apa pun yang tetap dilancarkan pada sesama. Itu hanyalah tanda bahwa kita masih panik, merasa tidak aman, tidak tenang batin, gelisah, atau masih dijajah oleh emosi pribadi yang meledak-ledak. Sesama tetap saja dilihat sebagai orang yang mengancam diri dan pribadi kita.
Betapa sulitnya hidup sebagai orang merdeka ketika ketakutan membelenggu, spontanitas dan kepolosan tersumbat, rasa dan ungkapan ceria tersendat-sendat, terkepung oleh rasa curiga!
Hidup sebagai orang merdeka berarti selalu ada jalan untuk mengungkapkan diri secara sehat dan membangun kebersamaan. Maka hidup merdeka tidak sekedar bahwa ‘egoku merasa aman dan bebas merdeka’, tetapi bahwa diri dan ungkapan hati sepantasnya menjadi alasan mendasar bagi ‘sesama/orang lain merasa nyaman, aman dan merdeka batin’.
Sr. Margareta Maria Alakok Bhia, M.C.