Pesta Yesus Menampakkan Kemulian-Nya menunjukkan bahwa kemuliaan dan kebahagiaan berada bersama dengan Yesus tidak lepas dari Salib. Mengapa demikian ?.
Jika kita lihat dalam Injil Matius, sebelum peristiwa Yesus menampakkan kemulian-Nya diceritakan kisah “Pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat mengikuti Dia” (Mat 16:21-28). Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24). Di sini ada kata “harus”. Jelas bahwa salib mau tidak mau akan menyertai setiap orang yang menjadi pengikut Yesus. Salib dalam kehidupan sehari-hari yaitu segala hal kesulitan dan penderitaan yang dialami karena menjadi pengikut Yesus. Misalnya, seorang pekerja yang bekerja jujur dan rajin bisa saja tidak disukai oleh teman-teman kerjanya yang mau memperoleh penghasilan dengan cara tidak baik yang suka berbohong, kemungkinan juga dia diajuhi oleh teman-teman yang lain, namun dia tetap bertahan jujur dalam pekerjaan karena mau mengikuti ajaran Yesus tentang kejujuran; di cap “sok suci dan sok baik”, namun bila dia bertahan dalam kebaikan maka kemuliaan akan mengikuti dia. Dia lebih tenang bekerja karena jujur serta akan merasa bahagia karena bisa menjadi pengikut Yesus meskipun dibenci oleh teman-teman yang lain karena kejujurannya.
Dalam Matius 17:1 dikatakan, “Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya naik ke sebuah gunung yang tinggi” Dan di situ mereka melihat Yesus berubah rupa, bersinar penuh kemuliaan tanpa ada penderitaan dan salib. Sungguh suatu keadaan yang berbeda dengan yang dikatakan sebelumnya tentang salib. Di sini ada dua peristiwa yang tejadi, sama-sama di atas puncak gunung dan yang dialami oleh orang yang sama. Yesus yang tersalib adalah sama dengan Yesus yang mulia di atas Gunung Tabor. Di atas Gunung Tabor para murid berbahagia tinggal bersama Yesus dalam kemuliaan, namun ketika Yeus di atas salib, banyak murid yang meninggalkan-Nya sendirian. Ini bisa menjadi gambaran kebanyakan dari manusia yang mau mengikuti Yesus dalam kesenangan dan kebahagiaan, namun sikap ini bukanlah sikap seorang murid yang sejati. Dalam peristiwa Tabor, Allah Bapa berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mat 17:6). Kata”dengarkanlah” adalah suatu perintah, suatu keharusan, bukan pilihan mau atau tidak mau. Dalam arti, jika kita mau menjadi anak terkasih Bapa, kita harus mendengarkan dan mengikuti Yesus dan ajaran-Nya meskipun terasa berat. Dengan peristiwa di Gunung Tabor memberi kekuatan bagi kita bahwa jika kita setia menjadi pengikut Yesus meskipun dalam jalan salib, maka kemuliaan juga telah menanti dan akhirnya kita pun bisa menjadi anak-anak terkasih Bapa. Jika kita mau menerima kebahagiaan dari Allah, mengapa kita menolak penderitaan karena menjadi murid-Nya, yang keduanya berasal dari tangan yang sama, dari tangan Bapa yang penuh kasih? (bdk Ayub 2:10). Antara Golgota dan Tabor… terbentang kasih Bapa yang setia pada janji-Nya.
Sr. Andrea Venty, M.C.