Ecce quam bonum et quam jucundum habitare fratres in unum; Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun (Mzm. 132). Jikalau seorang berkata: Aku mengasihi Allah dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta; karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya (1 Yoh. 4:2).
Menjadi sesama bagi orang lain menjadi ciri utama pengikut Kristus. Kita dipanggil untuk menjadi pembawa harapan dan sukacita bagi sesama, terutama mereka yang terabaikan, mereka yang terdekat yang membutuhkan pelayanan kita dalam keluarga, komunitas, lingkungan dan begitu banyak orang yang merasa sendiri dan sepi, bukan karena kesendirian secara fisik melainkan karena rasa dilupakan akibat berbagai macam faktor. Mungkin ada yang merasa terabaikan dari teknologi dan aktivisme, terabaikan dalam lingkungan sosial oleh kaum fesbukers dan tiktokers yang mengutamakan kesenangan dan pemuasan pribadi daripada memperhatikan sesama di sekitar. Dunia kita saat ini sedang tidak baik-baik saja, semua sepi dan hening tenggelam dalam aktivisme egosentris.
Mampukah kita menjadi ibu dan sesama? Pertanyaan ini bisa menjadi suatu refleksi yang dalam. Apakah hati kita tergerak oleh fenomena-fenomena dunia saat ini? Masih adakah tempat dalam hati kita untuk menjadi sesama bagi yang lain di sekitar kita? Ataukah hati kita sudah terlalu sesak oleh kepentingan-kepentingan diri kita?
Spiritualitas KEHADIRAN menjadi tindakan sederhana yang sangat dirindukan. Kehadiran di samping orang-orang yang sendirian; hadir untuk sabar mendengarkan tanpa gadget dalam genggaman, tersenyum, bercerita dari hati ke hati, saling memandang tanpa pandangan teralihkan oleh layar handphone; kehadiran yang siap menolong. Singkatnya, berada bersama tanpa ada sekat dan tembok yang menghalangi.
Kita perlu meneladani keibuan dari Bunda Maria, bagiamana perannya sebagai ibu bagi sesama, seperti kisah perkawinan di Kana. Maria sangat peka terhadap situasi sekitar; dia tidak tahan melihat penderitaan dan kesusahan orang lain. Dia tidak hanya berhenti pada rasa simpati, tetapi mencari jalan keluar agar orang lain menemukan harapan dan kebahagian.
“Bunda Maria hadir di sepanjang segala abad untuk membantu Gereja dan semua umat Kristen, di dalam pergumulan antara kebaikan dan kejahatan, untuk memastikan agar mereka tidak terjatuh; dan jika mereka terjatuh, ia membantu mereka untuk bangkit kembali” (Cf. Redemptoris Mater no. 51, 52).
Kita dipanggil untuk menjadi saksi dan rasul di jaman ini; untuk selalu bersedia membuka diri, memberikan tangan untuk digenggam oleh orang yang kehilangan harapan, memberi kekuatan bagi yang mengalami kehampaan hidup. Seperti yang ditulis Beata Maria Ines kepada kita, “Hendaklah kita menjadi ibu bagi jiwa-jiwa, dari semua mereka yang Tuhan percayakan kepada kita“. Mari kita menjadi sahabat, menjadi ibu dan saudara bagi sesama dalam rumah, keluarga dan komunitas kita.
Sr. Marselina Moi, M.C.