Pagi hari di Jumat Agung, saya bersama dengan para suster di komunitas Surabaya, mengikuti doa Jalan Salib bersama umat di Gereja Santa Maria Tak Bercela. Saya memilih tempat di lantai 2. Alasan saya sederhana saja dan sangat awam: di lantai 2 lebih luas, tidak ada orang dan oksigen pasti lebih banyak. Selain itu, saya bisa lebih luas melihat ke panti imam tanpa terhalang. Saya benar-benar menikmati saat itu. Dan ketika tiba saat jalan salib, karena buku panduan jalan salibnya habis, saya mengikuti dari layar videotron. Tiba-tiba pandangan saya terarah ke salib besar yang terpancang di depan. Meskipun waktu itu masih tertutup kain ungu, wajah Yesus yang tersalib itu masih terekam baik di benak saya. Spontan pikiran saya bertanya: untuk menebus manusia, mengapa harus menempuh jalan seperti jalan salib? Mengapa harus menggunakan cara menderita, sengsara, dan wafat? Bukankah Yesus adalah Allah yang bisa melakukan segala hal dalam sekejap? Buktinya Yesus bisa mengubah batu menjadi roti dalam waktu singkat hanya dengan “bersabda”…?  Atau Yesus bisa menggandakan 5 roti dan 2 ikan hanya dengan “sabda” dan bisa cukup untuk memberi makanan 5000 orang bahkan masih ada yang tersisa sebanyak 12 bakul? Atau juga Yesus bisa menyembuhkan orang lumpuh tanpa obat hanya dengan “Sabda”? Dan masih banyak lagi yang Yesus lakukan untuk menyelamatkan manusia dari kelaparan, sakit penyakit, kemiskinan dan lain-lain? Yesus bisa melakukan itu tanpa membutuhkan waktu lama, tidak perlu modal, bahkan tidak perlu alat atau sarana? 

Dan hari ini…

Mengapa harus menggunakan salib? Kalau memang untuk menebus manusia, apakah tidak ada cara lain?

Tidak menunggu lama, jawaban itu saya dapatkan dalam ibadat Jumat Agung sore harinya. Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, bahwa ternyata Allah sudah menggunakan semua cara untuk menyelamatkan manusia. Allah sudah memenuhi semua kebutuhan manusia, seperti yang kita baca dalam Kitab Suci, namun itu  semua ternyata tidak mempan atau tidak cukup membuat manusia mengerti akan betapa baiknya Tuhan.

Apakah Allah tega menyerahkan Putera-Nya untuk mati dengan keji demi manusia? Menurut saya, Allah  Bapa juga sebenarnya tidak menghendaki Putra Tunggal-Nya menderita sengsara dan wafat dengan  sangat keji: “Anakku akan mereka segani” (bdk. Mat 21:37). Apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata Anak-Nya bukan disegani tetapi justru ditangkap, dilemparkan ke luar kebun anggur, dan dibunuh (bdk. Mat 21:38).

Memang  Allah Bapa tidak menghendaki Putera-Nya menderita dan wafat, namun Yesus Kristus adalah Putera yang sangat taat melaksanakan kehendak Allah. Jauh sebelum Kristus datang, para nabi telah meramalkan bahwa Putera Allah, Sang Juru Selamat, akan menderita sengsara dan wafat bagi kita manusia.

Yesaya, dalam bacaan pertama Jumat Agung (Yes 52:13-53:12) menceritakan bahwa Hamba Tuhan akan menderita dan bahkan Yesaya menuliskan gambaran yang sangat jelas bagaimana keadaan-Nya ketika menderita; begitu buruk rupa-Nya, bukan seperti manusia lagi. Ia tidak tampan dan semarak-Nya pun tidak ada. Ia dihina dan dihindari orang (bdk. Yes 52:14, 52:3). Lebih lanjut dikatakan, Ia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita.

Dari sini sangat jelas, bahwa Yesus sangat mencintai manusia, Dia menghendaki manusia memperoleh keselamatan kekal. Karena itulah Yesus mau melakukan apa pun termasuk menderita, sengsara dan wafat demi menebus dosa dan menyelamatkan kita; oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh (bdk. Yes 53:5c). Pengorbanan Yesus adalah bukti cinta-Nya bagi manusia. Tidak cuma itu. Pada hari ketiga setelah wafat-Nya, Yesus bangkit. Kebangkitan Yesus ini benar-benar menguatkan iman kita bahwa Dia adalah Allah yang peduli dan Allah yang menyertai manusia sepanjang masa. Melalui kebangkitan-Nya, Yesus menunjukkan bahwa ketaatan kepada kehendak Allah adalah syarat keselamatan; dan salib bukan lagi sebagai benda asing yang menakutkan melainkan jalan menuju keselamatan kekal.

Selamat Paskah!

Semoga kebangkitan Yesus menguatkan iman kita akan kehidupan kekal, meneguhkan harapan kita akan keselamatan, dan mengobarkan kasih kita terhadap sesama. 

Sr. Marselina Siu, M.C.

Tambahkan Komentar Anda