Hari Raya Santa Perawan Maria dikandung Tanpa Noda
Ya Bunda Allah tersuci, kami bernyanyi memuji
agar engkau melimpahkan kurnia yang menyegarkan
kami keturunan Adam, semua jatuh tenggelam
dalam laut kedosaan kehilangan kehidupan.
Engkaulah satu-satunya yang terluput dari noda
karena dipersiapkan untuk melahirkan Tuhan.
Terpujilah Allah Bapa, Bersama Putra dan Roh-Nya
yang mencurahkan kurnia kepadamu, ya Maria. Amin
(Madah Ibadat Pagi)
Hari ini Gereja merayakan Bunda Maria dikandung tanpa noda. Kita berada di pertengahan perjalanan masa Adven untuk mempersiapkan kedatangan Tuhan. Selama masa Adven ini kita dibantu dengan teladan banyak tokoh kitab suci yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Pada pekan pertama Adven ditampilkan tokoh penting yaitu Nabi Yesaya dan pada pekan kedua ini ditampilkan figur istimewa yakni Bunda Maria. Disebut sebagai figur istimewa karena Bunda Maria memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah keselamatan mulai dari “fiat”-nya sampai di bawah kaki salib Tuhan.
Bunda Maria adalah teladan kekudusan. Bunda Maria dikenal oleh Gereja sebagai yang dikandung tanpa noda atau Imakulata. Bunda Maria menjadi teladan penyerahan diri bagi kami, biarawati, dan bagi semua yang mempercayakan diri para perlindungan dan kekuasaannya dalam memohon. Berbicara tentang penyerahan diri pasti kita ingat sejarah panggilan kita masing-masing, mulai dari tempat, peristiwa dan orang-orang yang turut ambil bagian dalam proses kita hingga hari ini. Banyak “signos pobres = tanda sederhana” yang Tuhan sediakan agar kita menemukan-Nya dalam kehidupan ini, di mana pun dan dalam tugas apa pun. Bunda Maria menjadi sarana saluran rahmat Allah, terutama menjadi perantara keselamatan manusia, maka tepat sekali kalau kita mengambil Bunda Maria sebagai teladan penyerahan diri kita.
Meneladan kemurnian Bunda Maria bagi saya sangatlah sulit, maka saya mencoba dalam refleksi pribadi ini untuk menemukan keutamaan lain yang lebih mudah untuk kita ikuti: dari Anunsiasi sampai Golgota.
ANUNSIASI – Kesederhanaan
Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: ‘Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau” (Luk. 1:28), kita dapat membayangkan bahwa sejak saat menerima kabar itu Maria diberi “status baru” sebagai yang “dikaruniai”, yang diberi karunia, anugerah, rahmat khusus dan “Tuhan menyertai”. Menyambut salam yang istimewa dari Malaikat Gabriel, Maria tidak menunjukkan reaksi yang sombong atau sejenisnya tetapi justru sebaliknya merasa tidak pantas, hal ini nampak meskipun tidak secara eksplisit dalam kata-kata Malaikat: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah…” (Luk. 1:30). Malaikat Gabriel mengerti apa yang dirasakan Maria: takut, cemas, bingung…. Maria menyadari bahwa apa yang disampaikan oleh Malaikat itu amatlah mustahil baginya, tetapi Maria “membuka pintu rumah – hatinya” bagi kehendak Allah dan ia menyadari sepenuhnya siapakah dirinya di hadapan Allah: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38).
Pada waktu kita memutuskan untuk menjawab “YA”, kita juga diberi karunia/rahmat khusus dan dengan rumusan yang berbeda kita pun telah berusaha mengatakan hal yang sama. Saat ini kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing apakah karunia yang Tuhan berikan membuat saya lebih sadar akan status saya sebagai “yang dikaruniai”, ataukah justru menjadikan saya merasa lebih dari yang lain? Bukan lagi hamba yang siap melayani melainkan “tuan” bagi yang lain? Apakah selama ini saya sungguh merasakan penyertaan Tuhan dalam hidup kita sehingga ketakutan yang muncul dapat kita olah dan membuahkan daya juang dan kepercayaan yang tanpa batas, yang menjadi doa batin yang terus menerus: “Tuhan, kami tidak mampu sesuatu, Engkaulah yang dapat segala-galanya” (Beata Maria Ines).
VISITASI – Kesopanan yang diadikodratikan
“Maria masuk ke rumah Zakaria dan memberi salam kepada Elisabet” (Luk. 1:40). Pada ayat ini kita melihat Maria yang santun dan rendah hati. Maria pergi mengunjungi Elisabet bukan untuk menjadi viral… Maria pergi karena dia percaya… Percaya kepada Sabda Allah tentang apa yang akan dan telah terjadi padanya dan juga pada Elisabet. Meskipun Maria telah beroleh kasih karunia untuk menjadi Ibu Tuhan, tetapi dia juga mau “turun” mengunjungi Elisabet. Pertanyaannya: apakah dengan karunia atau talenta yang Tuhan beri membuat saya tetap rendah hati dan santun? Ataukah saya justru menjadi sombong dan menjadikan karunia atau talenta itu sebagai tempat perlindungan yang aman? Madre Ines mengingatkan kita semua bahwa: “Kesopanan yang diadikodratikan adalah kesucian” (bdk. Direktorium Spiritualitas).
Di sisi lain, Elisabet menyebut Maria yang berbahagia, karena Maria percaya kepada Sabda Tuhan. “Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (Luk. 1:45). Elisabet tidak iri hati terhadap Maria tetapi tetap bersukacita bersama Maria. Kerendahan hati merupakan salah satu keutamaan pokok dalam proses hidup kita karena keutamaan ini sangat dibutuhkan untuk mencapai keharmonisan dalam hidup bersama. Tidak ada penyerahan yang tulus apa lagi total tanpa kerendahan hati. Apakah selama ini kita mampu bersikap sederhana, bersukacita dengan yang bersukacita dan memberi kesempatan orang lain agar menjadi semakin besar?
BETLEHEM – Terbuka terhadap perubahan
Di masyarakat kita, dalam keluarga-keluarga yang kita kenal dan bahkan yang menjadi kebiasaan kita sendiri, kalau kita akan punya acara tertentu kita pasti mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pernak-perniknya agar tidak ada sesuatu pun yang kurang pada hari H nanti. Di Nazaret, Maria pun, dalam kesederhanaanya, pasti juga sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk hari kelahiran Yesus. Tetapi ternyata apa yang terjadi berbeda dengan apa yang telah direncanakan.
Setelah beberapa waktu lamanya Maria berada bersama Elisabet, kerabatnya, ia pulang ke rumah kemudian pergi bersama Yusuf untuk mengikuti pendaftaran yang diadakan oleh Kirenius – Wali Negeri di Siria saat itu. Dalam perjalanan, tibalah waktunya bagi Maria untuk melahirkan dan “…Maria pun melahirkan Anaknya yang tunggal. Ia membungkus-Nya dengan kain lampin dan membaringkan-Nya di dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (bdk. Luk. 2:6 -7).
Satu hal yang menarik dalam kisah ini adalah “perjalanan” Maria dan Yusuf. Orang yang sedang dalam perjalanan terbiasa dengan apa itu haus, panas, debu, jurang, bebatuan, semak belukar, dll. Dinamika “perjalanan” ini membantu kita untuk sedikit mengerti mengapa saat Yusuf dan Maria tidak menemukan tempat penginapan, tidak satu pun keluh-kesah yang keluar dari bibir mereka dan “…Maria menyimpan hal itu dan merenungkannya dalam hatinya” (bdk. Luk. 2:16-19).
Betapa penting, meski kita tidak selalu berada dalam perjalanan secara fisik tapi memiliki dinamika dan semangat hidup “dalam perjalanan” untuk dapat belajar menerima sesuatu yang lain di luar yang telah direncanakan dengan baik. Berani keluar dari program bilamana situasi meminta kita: terbuka terhadap perubahan dan tidak mudah mengeluh.
MESIR – Semangat Ketaatan
Dari kisah orang kudus, kita mengenal Santo Ignasius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus. Para imam Yesuit selain berkaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan juga terikat pada satu kaul ketaatan khusus kepada Paus berkaitan dengan karya misi. Barangkali bagi kami, kaum religius, agak lebih mudah memahami hal ini karena ketaatan yang dijanjikan kepada Allah itu nyata dalam diri seorang pemimpin seperti halnya para imam Yesuit kepada Santo Ignasius pada zamannya.
Berbeda dengan apa yang dialami oleh Yusuf, dia menerima “ketaatan” yang disampaikan oleh Allah melalui Malaikat dalam mimpi: “Bangunlah! Bawa Anak itu bersama ibu-Nya dan larilah ke Mesir. Tinggallah di sana sampai Aku berbicara kepadamu karena Herodes ingin mencari anak itu untuk membinasakan-Nya” (Mat. 2:13) dan setelah genap waktunya, Allah kembali dengan sabda-Nya: “Bangunlah, bawa Anak itu dengan Ibu-Nya dan pergilah ke tanah Israel karena orang-orang yang berusaha membunuh Anak itu sudah mati” (bdk. Mat. 2:19-20).
Ternyata yang taat dalam diam bukan hanya Yusuf saja, tetapi juga Maria. Marilah kita belajar dari Bunda Maria dan Santo Yusuf yang taat dengan sukarela dan senantiasa mendengarkan suara Tuhan.
KANA – Berani menghadirkan diri dan peka terhadap situasi
Hampir dua tahun ini kita semua belajar atau bahkan sudah mengadopsi kebiasaan baru: “lebih nyaman online”. Di satu sisi, Covid-19 membawa dampak positif bagi ribuan bahkan jutaan orang, namun demikian juga berdampak negatif bagi tidak sedikit dari kita. Dalam banyak hal kita disatukan secara virtual namun demikian itu tidak dapat menggantikan kehadiran kita. Masa Covid ini membuat kita juga makin menghargai apa artinya kebersamaan dan apa arti dari kehadiran.
Injil Yohanes memberikan inspirasi yang bagus untuk kita renungkan bersama : “Pada hari yang ketiga, ada pesta perkawinan di Kana, Galilea, dan Ibu Yesus ada di sana. Yesus dan murid-murid-Nya juga diundang ke pesta perkawinan itu. Ketika kehabisan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya, ‘mereka kehabisan anggur’. Yesus menjawab, ‘Perempuan, apa hubungannya dengan-Ku? Waktu-Ku belum tiba’. Ibu Yesus berkata kepada para pelayan, ‘Apa pun yang Dia katakana kepadamu, lakukan itu” (Yoh. 2:1-6).
Kita dapat membayangkan, apa yang terjadi kalau Bunda Maria tidak “ada” atau tidak hadir di perjamuan itu. Bisa saja Yesus sendiri yang melakukan mujizat tanpa intervensi Bunda Maria, tetapi di Kana Bunda Maria tidak mau hanya “duduk di kursi cadangan menunggu giliran”(Paus Fransiskus), Bunda Maria berhasil membaca situasi dan berani angkat bicara untuk menyampaikan kepada Yesus tentang apa yang dilihatnya.
Dengan mujizat yang dilakukan oleh Yesus, tentu saja keluarga yang berpesta sangat bahagia dan berterima kasih kepada Yesus dan Bunda Maria. Sudah pasti banyak orang kagum akan apa yang telah diperbuat oleh Yesus, tetapi setelah pesta selesai, Yesus, para murid dan Ibu-Nya tidak berlama-lama di situ, melainkani melanjutkan perjalanan mereka ke tempat yang lain: “Sesudah itu, Yesus turun ke Kapernaum bersama ibu, saudara-saudara, dan murid-murid-Nya…” (Yoh. 2:12). Bunda Maria setia hadir, bukan hanya di momen-momen khusus seperti halnya di Kana tetapi juga menyertai Yesus dan para murid dalam tugas-tugas yang lain.
Apakah kita sudah berusaha menggunakan setiap peluang yang ada sebaik mungkin untuk menjadikan kehadiran kita lebih bermakna? Marilah kita meneladan Bunda Maria yang berani berbicara dengan sederhana saat diperlukan dan peka terhadap situasi di sekitarnya. Tuhan Yesus akan melakukan segalanya, kita lakukan apa yang menjadi bagian kita.
GOLGOTA – Tetap teguh berpengharapan di saat yang sulit
Kita semua pernah memiliki pengalaman mengikuti upacara bendera atau pernah hadir dalam acara khusus, bahkan acara yang sangat penting dimana pada saat pemimpin upacara, pemimpin rapat atau pun seseorang yang dihormati akan hadir, maka kita semua berdiri. Sikap berdiri mewakili kesiapsediaan dan penghormatan. Hanya orang yang memiliki kekuatan dapat berdiri tegak dalam situasi apa pun: “Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya…” (Yoh. 19:25), dan mampu menjadi tumpuan harapan bagi yang lain seperti halnya Bunda Maria: “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” (Yoh. 19:26). Yesus mengenal Bunda Maria dengan baik dan mempercayakan kita semua kepadanya.
Kemurnian Bunda Maria merupakan anugerah istimewa dari Allah dan hanya Bunda Maria, satu-satunya yang layak menerima karunia yang tak ternilai ini karena ia terluput dari dosa. dalam kesederhanaan, dalam kerendahan hati, dalam keterbukaan, dalam ketaaan sukarela, berani menghadirkan diri dan tetap teguh dalam pengharapan.
Bunda Maria dipilih Allah karena keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya dan dipersiapkan untuk satu tugas yang istimewa. Bunda Maria adalah hamba yang setia. Kita seringkali tidak setia pada janji kita. Seringkali kita masih mencari apa yang kita perlukan: kepentingan pribadi. Namun demikian, karena kita memiliki seorang Ibu, maka marilah kita mohon kepadanya agar membantu kita untuk dapat meneladan hidupnya. Bunda Maria memiliki keutamaan yang tiada batasnya. Kali ini kita akan mencoba meneladan atau belajar dari padanya.
Marilah di Masa Adven ini, kita berjalan bersama Bunda Maria dari Betlehem sampai Golgota dalam kesederhanaan, kerendahan hati, keterbukaan, ketaaan sukarela, berani menghadirkan diri dan tetap teguh dalam pengharapan.
Semoga Santo Yusuf dan Bunda Maria menemukan penginapan yang layak bagi putra-Nya dalam “rumah – hati” kita masing-masing.
Sr. Yuliana Antin Kaswarini, MC