“Guru: Panggilan, Misi dan Profesi”, demikian tema Rekoleksi para Guru dan karyawan SD Kanisius Nglinggi yang dilaksanakan pada hari Jumat, 25 November 2022 yang bertepatan dengan hari Guru Nasional. Kegiatan Rekoleksi ini diikuti oleh seluruh guru dan karyawan, serta para suster Misionaris Claris komunitas Nglinggi, Klaten.
Rekoleksi yang dibuka pada pukul 08.30 oleh Bu Floren sebagai pembawa acara ini, berjalan dengan menarik dan menyentuh hati para peserta. Narasumber kali ini adalah Romo Stepanus Sigit Pranoto, SCJ, atau yang biasanya akrab dipanggil Romo Sigit. Saat ini beliau bertugas di Skolastikat SCJ Yogyakarta dan sedang menyelesaikan studinya di Program Doktoral Islamologi UIN Sunan Kalijaga Yoagyakarta. Tema “Guru: Panggilan, Misi, Profesi” diambil dengan tujuan agar para peserta, terutama para guru, dapat merefleksikan kembali tentang panggilannya sebagai seorang guru; apakah menjadikan panggilan guru ini sebagai sebuah misi ataukah hanya sebagai profesi.
Dalam sesi pertama Romo Sigit menagajak para guru menilik kembali ke titik awal ketika memutuskan untuk menjadi seorang guru beserta tantangannya dalam menjalani profesi ini. Sharing dimulai dari Bu Ning, kemudian dilanjutkan oleh Bu Floren, Pak Supri, Pak Royo, Bu Indri, dan Bu Purna. Rata-rata mereka mengatakan bahwa pada awalnya mereka tidak punya keinginan untuk berprofesi sebagai seorang guru, namun setelah berproses mereka ‘jatuh hati’ pada profesi ini. Tentu saja tantangan yang dihadapi dari awal hingga saat ini juga tidak mudah, tapi mereka berusaha memacu diri untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Untuk lebih memotivasi peserta rekoleksi, Romo Sigit menampilkan slide tentang seorang guru yang tetap mengajar meskipun dalam keadaan lumpuh dan harus mengajar dari tempat tidurnya, yakni almh. Ibu Een Sukaesih.
Selanjutnya Romo Sigit juga mengajak para peserta untuk melihat guru, lebih dari sekedar profesi dan bagaimana profesi guru jika dibandingkan dengan profesi-profesi yang lain. Selain itu para guru juga diingatkan kembali tentang makna semboyan Ki Hajar Dewantara yaitu “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang menjabarkan dengan jelas tentang peran seorang guru yang menjadi role model dan motor penggerak serta motivator bagi peserta didik.
Sesi kedua dimulai dengan sebuah video tentang Pak Han dan Pak David yang dalam keterbatasannya sebagai difabel tunanetra masih terus semangat membagikan ilmunya dengan memberi bimbingan belajar mata pelajaran matematika. Setelah melihat video singkat tersebut, para peserta rekoleksi kembali dimintai pendapatnya tentang kedua sosok inspiratif tadi. Dimulai dari Bu Ita, kemudian Bu Erna, Bu Ana, Bu Emik, Bu Yulita, Bu Narita, Pak Kus, Suster Reni, Suster Antonia dan diakhiri oleh Suster Fina. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau mencoba dan berusaha keras. Bukan hanya untuk diri kita, tapi bagaimana dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kita bisa memberikan yang terbaik bagi peserta didik dan tentu saja dengan selalu mohon bimbingan Tuhan dan penyertaan Roh Kudus.
Lebih jauh lagi, Romo Sigit mengajak peserta rekoleksi untuk melihat bahwa mengajar adalah sebuah misi dan para guru adalah misionaris yang tidak hanya mengajarkan keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung, apalagi menjejali peserta didik dengan berbagai macam informasi, tetapi yang utama adalah membantu peserta didik untuk tumbuh menjadi lebih manusiawi, bukan seperti robot atau monster tanpa hati. Peserta rekoleksi juga diajak untuk merefleksikan, apakah selama ini menjalani profesi guru hanya sebagai sebuah profesi, ataukah sungguh sebagai sebuah panggilan misi yang dilakukan dengan sepenuh hati dan jiwa.
Mengambil contoh tiga tokoh dalam kitab suci, yakni Abraham, Musa, dan Maria yang menjawab panggilan Allah dengan sepenuh hati dan jiwa, di sesi akhir ini Romo Sigit mengajak peserta rekoleksi untuk melihat profesi guru sebagai sebuah panggilan. Seperti Abraham yang patuh pada perintah Allah, yang menjadi model hidup bagi orang beriman, demikian juga seorang guru harus bisa menjadi model dan teladan bagi para peserta didik. Seperti Musa yang memimpin Bangsa Israel keluar dari Mesir dan membebaskan mereka dari perbudakan, hendaknya juga seorang guru mampu membawa para murid keluar dari kebodohan yang merupakan bentuk ‘perbudakan’ zaman ini. Dan terakhir, seperti Maria yang menanggapi panggilan Allah dengan berserah penuh untuk menerima tugas sebagai Bunda Sang Penebus, seorang guru diharapkan mampu mengemban tugas mulia yang penuh berkat ini seperti sosok seorang ibu yang merawat, mendampingi, mengoreksi dan mengarahkan peserta didik ke jalan yang benar seturut kehendak Allah.
Di akhir rekoleksi, Romo Sigit menganbil kutipan dari Scott Hayden “Teachers have three loves: love of learning, love of learners, and the love of bringing the first two loves together.”, yang bermakna guru (hendaknya) mempunyai tiga cinta yakni: “cinta untuk belajar”, guru harus terus menambah wawasan untuk membantu peserta didik dalam proses pembelajaran di sekolah; “cinta pada peserta didiknya”, guru tidak hanya sekedar memberi ilmu, tapi juga membimbing peserta didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang; dan “cinta untuk menyatukan kedua cinta tadi”, hendaknya guru mengajar dan mendidik peserta didik dengan penuh kasih sayang.
Romo Sigit mempersembahkan Misa Kudus sebagai penutup kegiatan rekoleksi dan setelah itu dilanjutkan dengan santap siang bersama. Dengan diadakannya rekoleksi diharapkan para guru disegarkan kembali dan terinspirasi untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didik di SD Kanisius Nglinggi, bukan hanya sebagai sebuah profesi, tapi sebagai sebuah panggilan misi. Seperti yang dikatakan oleh Beata Maria Ines: “Kelasmu, ladang misimu”. Selamat Hari Guru, Suster, Ibu dan Bapak Guru. Selamat melanjutkan panggilan misimu. Tuhan memberkati.
Erna Agus Parmawati