Suatu hari, Fransiskus dari Asisi, yang sedang menunggang seekor keledai, melewati sebuah ladang dimana ada seorang petani sederhana sedang bekerja. Petani itu melihat Fransiskus dan bergegas lari untuk mendekatinya. Sederhana namun penuh ketertarikan, petani itu bertanya apakah dia itu benar Saudara Fransiskus. Maka Fransiskus menjawab bahwa dialah orang yang dimaksud itu. Petani itu berkata kepadanya, “Berusahalah selalu menjadi orang baik seperti yang dikatakan banyak orang tentangmu, sebab mereka menaruh kepercayaan yang besar kepadamu. Untuk itu, saya sarankan supaya kamu tidak pernah bertingkah laku yang berkebalikan dari apa yang diharapkan darimu.”
Mendengar kata-kata luar biasa yang disampaikan dengan sederhana dan tulus, Fransiskus segera turun dari atas keledai, tersungkur di depan petani itu dan mencium kakinya. Fransiskus berterima kasih atas nasihat itu.
Jujur deh! Kalau misalnya kita mengalami kejadian yang serupa dengan yang dialami Santo Fransiskus, ekspresi verbal pertama yang keluar kemungkinan besar: “Siapa lo bilang gitu ke gue?” Atau kalau verbal berhasil ditahan pun, ekspresi wajah pasti berubah. Kalau situasinya terbalik, orang yang memberi masukan itu posisinya lebih tinggi atau lebih terhormat, kita akan berusaha lebih keras lagi untuk mengontrol mulut dan wajah, tapi badai tsunami menggulung-gulung dalam hati.
Dasar dari kerendahan hati yang sejati adalah pengenalan akan siapa Allah dan siapa diri kita secara obyektif, yaitu dengan kelebihan dan kekurangan kita. Pengenalan yang benar membawa kita mampu melihat karya Allah dalam hidup kita, seolah-olah kalau kita berdiri di suatu titik saat ini di atas pasir pantai dan menoleh ke belakang, kita dapat melihat jejak-jejak kaki Allah yang dalam dan bersinar. Trus, jejak kita sendiri gak ada? Tentu saja ada. Maka kerendahan hati yang sejati juga mengandung unsur keseimbangan dan ketulusan. Maksudnya, ketika orang lain mengapresiasi keberhasilan, respon kita bisa saja menerima dan bersyukur atas apresiasi itu, atau kita merespon dengan, “Ah… itu bukan saya kok. Saya ini kan bukan siapa-siapa… Semua itu Tuhan kok…!”
Kalau kejadiannya sebaliknya, bagaimana? Kalau kita mengalami kegagalan, berapa lama kita terpuruk dalam kekecewaan, rasa malu, usaha pembenaran dan pembelaan diri? Itu semua bisa menjadi ukuran bagi diri kita sendiri tentang kerendahan hati. Tentu semua perasaan itu normal, namun ketika kita tidak mampu bangkit dan cenderung terus menyalahkan diri sendiri, orang lain, keadaan, dan akhirnya merasa tidak berharga, itu salah satu tanda bahwa kita terlalu mengandalkan kekuatan diri sendiri. Itu salah satu bukti bahwa kita masih kurang rendah hati.
Maka sebenarnya, kerendahan hati yang sejati memiliki salah satu ciri istimewa: mungkin dimiliki oleh orang yang tidak merasa memilikinya, dan tidak dimiliki oleh orang yang merasa memilikinya.
Berikut niat-niat yang ditulis Beata Maria Ines, dan yang dilaksanakan sepanjang hidupnya demi memperoleh keutamaan kerendahan hati (Nasihat dan Refleksi, f. 1265-1266). Niat-niat ini sangat konkret maka kami bagikan dalam tulisan ini.
- “Aku tidak akan mengatakan apa pun yang dapat menyinggung perasaan dan membuat orang lain merasa tidak nyaman. Dan apabila aku mengucapkan kata yang pedas dan menyinggung orang lain, aku akan meminta maaf dan memperbaiki kesalahanku dengan membuat satu pelayanan untuk menunjukkan rasa sayangku padanya.”
- “Ketika orang lain mengatakan sesuatu yang menyakitiku, aku akan berusaha untuk tidak merasa tersinggung. Aku akan segera berdoa, memohon dalam hati dan meminta rahmat untuk dapat menguasai diri dan tidak menyakiti Allah dengan jawaban yang penuh kemarahan.”
- “Aku akan menjadikan kerendahan hati sebagai bentuk sopan santunku. Aku akan berusaha menjadi sederhana, tanpa pura-pura, tanpa berusaha untuk tampak baik atau menjadi yang terbaik.”
- “Aku akan rendah hati dalam berkata-kata, tidak berbicara apa pun yang bertujuan agar aku tampak tahu dan pintar, melainkan dengan sederhana aku akan berusaha mengatakan dengan sebaik mungkin, apa yang harus kukatakan.”
- “Aku akan rendah hati dalam bekerja, dalam pelaksanaan tugas-tugasku sehari-hari, tanpa mencari tepuk tangan dari siapa pun, melainkan hanya ingin menyenangkan Allah dan menghibur Bunda Surgawi, demi kebaikan dan damai dari semua orang yang ada di sekitarku, untuk ikut bekerja sama dengan rahmat demi kemuliaan Allah.”
Setiap kali bibir, lidah, wajah, maupun batin kita tergoda untuk mengekspresikan pembelaan diri atau kesombongan, marilah kita ucapkan doa pendek ini:
Yesus yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hati kami seperti hati-Mu.
Sr. Carla Nugroho, M.C.