Sebagian dari kita tentu tidak asing dengan pohon ara. Paling kurang, kita pernah mendengar. Setidaknya kita pernah mendengarnya di tiga cerita Injil. Pertama, Yesus mengutuk pohon ara (Mat 21-19-27), ketika dalam perjalanan Yesus dan para murid lapar, tetapi pohon ara tidak berbuah. Kedua, perumpamaan tentang pohon ara yang ditunggu hasil buahnya (Luk 13:6-9), sehingga penggarap pohon ara itu bersedia merawatnya lagi dengan baik supaya tahun berikutnya berbuah. Ketiga, cerita Zakheus yang naik pohon ara (Luk 10:1-9) demi melihat Yesus yang lewat.
Ketiga cerita pohon ara dalam Injil itu berbeda makna. Dua cerita berkonotasi negatif, dan satu cerita, positif. Bahkan, cerita pohon ara yang dipanjat Zakheus memiliki dimensi yang penting. Di mana pentingnya? Pertama, pohon ara dipakai Zakheus untuk memanjat demi dapat melihat Yesus. Kedua, Yesus memandang Zakheus yang naik pohon ara dan hendak singgah di rumahnya. Ketiga, perjumpaan dengan Yesus di pohon ara ini membawa Zakheus bertobat. Pertanyaan pengandaian: bagaimana seandainya tidak ada pohon ara saat itu? Bagaimana Zakheus dapat melihat Yesus? Demikian juga sebaliknya, seandainya Zakheus tidak memanjat pohon ara, bagaimana Yesus dapat melihat Zakheus?
Dalam sudut pandang cerita Zakheus, pohon ara itu amat penting, karena berjasa besar. Melalui pohon ara, Zakheus bisa memandang Yesus. Yesus pun memandang dia. Dan lebih dari itu, Yesus berkenan hadir dalam rumah Zakheus untuk makan bersama. Peristiwa itu membawa rahmat yang besar: Zakheus bertobat dan seluruh keluarganya selamat. Namun, apakah pohon ara tersebut menjadi buah bibir? Setelah Zakheus selamat, pohon ara tidak diceritakan lagi.
Manakala pohon ara dalam cerita Zakheus dikaitkan dengan kedua cerita yang lain, kiranya kita memiliki alur yang serupa. Pohon dinantikan buahnya, supaya manusia kenyang. Andai belum berbuah, ditunggu dengan diusahakan ulang. Ketika sudah tidak menghasilkan apa-apa, pohon ara ditebang untuk dimusnahkan. Demikian pun apabila pohon ara dipakai sebagai sarana memanjat, begitu sudah selesai dipanjat, pohon ara ditinggalkan. Kalau demikian, pohon ara pada hakikatnya hanyalah sarana untuk kebaikan dan keselamatan manusia.
Kita semua dipanggil dan diutus. Perutusan kita bermaksud agar banyak orang mengenal Allah, dan bukan kita yang menjadi terkenal. Apabila kita yang diutus berdimensi pohon ara, kiranya tidak penting siapakah kita. Yang perlu dan harus terus dilakukan adalah berbuah dan berbuah. Hidup mesti selalu berjasa dan berjasa. Namun, yang utama bukan kita yang berbuah dan berjasa, tetapi justru Zakheus dan orang-orang lain menjadi selamat. Sarana tetaplah sarana. Tak perlu menghitung berapa buah dan berapa jasa yang sudah diberikan. Tak penting memerhatikan orang melihat kita atau tidak.
Secara tersembunyi pohon ara mengalirkan semangat tulus ikhlas, tanpa pamrih. Dia siap menjadi kecil dan tidak berarti, asalkan terus berusaha memberikan arti bagi hidup orang lain dan menjadi sarana keselamatan bagi sesama. Sudah siapkah kita menjadi seperti pohon ara?
Sr.Fina MC