Ketika merenungkan tentang Bunda Maria, saya selalu ingat kata-katanya yang dicatat dalam Kitab Suci, pada saat Malaikat Gabriel memberi kabar sukacita, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Memang tidak banyak yang dikatakan Bunda Maria dalam Kitab Suci, tetapi kata-kata yang keluar dari dirinya ketika itu menggambarkan suatu kedalaman hidup batin dan hidup rohani dari seorang gadis yang masih remaja. Kata-kata inilah yang juga berusaha saya hidupi dalam perjalanan hidup saya.
Ketika masih kecil, doa Malaikat Tuhan selalu didoakan di sekolah saya. Kata-kata Bunda Maria itu menjadi moto hidup saya karena selalu diucapkan setiap hari di sekolah. Saya berusaha merenungkan kata “hamba”. Seorang hamba adalah seorang pelayan atau abdi. Dia adalah orang yang mempunyai seorang tuan atau pemilik. Ada hubungan antara tuan dan hambanya. Tuan memiliki hambanya dan hamba dimiliki oleh tuannya. Apapun yang diperintahkan oleh tuannya, hamba akan mengikutinya. Seorang hamba tidak punya kuasa untuk menolak keinginan tuannya. Seorang hamba mengenal dan mengetahui kerendahan dirinya. Kebahagiaan seorang hamba adalah menyenangkan hati tuannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki tuannya. Seorang hamba juga tidak menuntut apapun dari tuannya untuk balas jasa atas segala pekerjaan yang telah dilakukannya. Seorang hamba tahu bahwa ia hanya melakukan pekerjaan yang seharusnya memang dia lakukan. Seorang hamba tidak memilih-milih pekerjaan.
Bunda Maria menghidupi kehambaan yang suci dan Tuhan Allahlah yang menjadi Tuannya. Kerendahan hati Maria telah membuatnya menyadari siapa dirinya di hadapan Allah. Maria menyadari bahwa dirinya hanyalah hamba Allah yang siap melayani dan, sebagai alat, siap dipakai Allah. Ia hanya mau menuruti kehendak, kemauan dan perkataan Allah. Ia tidak menolak apa pun yang diinginkan Allah karena Maria tahu bahwa hidupnya adalah suatu penyerahan dan persembahan, dimana Allah sajalah yang berkarya dalam hidupnya. Sungguh, jiwa-jiwa yang memasrahkan diri untuk dipakai dan dibentuk oleh tangan Allah untuk menjadi apa saja seturut kehendak-Nya, adalah alat-alat istimewa yang memudahkan Allah melanjutkan karya keselamatan-Nya.
Hidup Maria adalah suatu kebahagiaan. Hidup Maria adalah hidup yang sangat berbuah. Dialah contoh dari hidup nyata, dimana seseorang berbuah seratus kali lipat, atau mungkin lebih, seperti yang disabdakan Yesus. Hubungan erat dan mesra antara Maria dan Roh Kudus, yang adalah Sang Mempelai Pria, yang memungkinkan semua ini. Walaupun Maria, dalam kesehariannya, hidup sederhana di tengah-tengah kesibukan rumah tangga yang biasa, tetapi yang Maria lakukan menjadi luar biasa karena dia mengerjakan apa yang dikehendaki Allah. Ketaatan dan kehambaan Bunda Maria mengantarkannya pada puncak kekudusan. Walau Bunda Maria mengalami suatu ketidakpahaman dan kebingungan akan masa depannya, akan apa yang diinginkan Allah darinya, namun selama berada di dunia, Maria tidak pernah menolak karena dia tahu Siapa yang meminta. Sehingga, Allah pun tidak menolak permintaan Maria ketika dia di surga.
Kehambaan Bunda Maria membuat kita merenung tentang diri kita dalam hidup sehari-hari. Bagaimana kesiapsediaan kita dalam menanggapi kehendak Allah? Sering kali Allah menggunakan sarana-sarana dan untuk menyatakan kehendak-Nya. Sarana-sarana itu dapat berupa manusia, peristiwa, kejadian, alam, kelemahan, kekurangan, ataupun sekelompok manusia. Allah pun juga dapat berbicara di kedalaman batin kita, di mana Roh Allah bersemayam. Apapun status hidup kita, kita diharapkan menjadi pelayan dan hamba sesuai dengan panggilan kita masing-masing. Apa pun yang Allah inginkan atau perintahkan dalam hidup kita, pekerjaan apa pun itu, percayalahn bahwa itu akan membahagiakan kita dan memuliakan Allah. Seperti seorang ibu yang mengurus rumah tangga dan keluarganya; seorang bapak yang bekerja dan menjadi suami dan ayah bagi anak – anaknya; seorang pelajar yang bertanggung jawab dalam sekolahnya dan menolong dalam pekerjaan rumah tangga; seorang biarawan atau biarawati yang mau melakukan pekerjaan apa pun, serendah apa pun, sekecil apa pun, sesulit apa pun, seberat apa pun, selelah apa pun, tetapi karena hal itu diminta oleh Allah melalui ketaatan, maka pekerjaan itu menjadi berkenan dan mulia di mata Allah.
Marilah kita melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah dan menjadi hamba-Nya yang setia dan tekun.
Ria Mayacita Sugembong, Novis Suster MC