Ketika matahari mulai menenggelamkan dirinya dalam balutan awan senja, saatnya untuk mengidungkan pujian syukur pada Sang Mempelai Ilahi. Setiap darasan mazmur adalah sebagai ungkapan sukacita kasih dari merpati kecil-Nya. Ibadat sore pun dimulai… ”Ya Allah, bersegeralah menolong aku…. “

Dalam sebuah catatan harian, tertuang kisah hati…

Saat itu teringat pada ibundaku yang telah mendampingi aku selama ini dan secara khusus, beliau juga menjadi ibunda dalam hidup baktiku. Seandainya beliau tidak menguatkan aku dengan kekuatannya, seandainya pula dalam cobaan yang ada, beliau tidak mengaruniakan terang padaku, seandainya juga beliau tidak menikmati kemanisan yang tersembunyi di dalam penghinaan, teguran, pengalaman ditinggalkan dan kepahitan lainnya, dimana aku merasa ditinggakan oleh Allah. Seandainya beliau  tidak memelukku ketika aku mencurahkan isi hatiku sambil mempersembahkan kepadanya semuanya itu sebagai buket bunga rohani. Seandainya beliau tidak menjadi guruku, pembimbingku, penasehatku, aku pasti tidak akan mempunyai kekuatan untuk menanggung semua pencobaan yang telah kualami.

Bagaimana pun juga, beliau tetap menjadi ibundaku dan akan tetap menjadi ibundaku selama aku menelusuri panggilan hidupku ini, ketika aku akan bermisi di suatu tempat yang jauh, ke daerah yang penduduknya belum percaya pada Tuhan, dimana aku tidak hanya melakukan dengan doa dan kurban namun juga dengan tindakan karya demi mewartakan kerajaan Allah di antara orang-orang yang belum mencintai-Nya.

 Bundaku pasti akan mencintaiku dengan lebih lagi saat aku mempersembahkan jiwa-jiwa itu sebagai persembahan cintaku kepadanya, misalnya ketika aku mengajarkan mereka untuk percaya tanpa batas kepada  Bunda Maria, ataupun untuk pergi kepada Yesus melalui Maria.

Sehingga pada waktu selanjutnya, Maria akan menjadi ibunda yang penuh kasih bagi semua orang, yang dikenal sebagai Maria Guadalupe, yang terlukis dalam sebuah lukisan yang  indah dan besar, dimana beliau menjadi ratu di kapel kami, sambil mencurahkan kemesraan dan cinta pada anak-anaknya seperti yang pernah beliau telah anugerahkan kepada Juan Diego kala itu. Bunda Maria akan menerima mereka semua di dalam mantelnya yang penuh bintang itu, dan menyembunyikannya ke dalam dua katup tangannya yang mungil, agar hati mereka selalu dikobarkan dengan api ilahi sehingga cinta mereka kepada Yesus pun akan bergelora.

Namun, ketika sampai saatku yang terakhir, pada saat jiwa harus meninggalkan tubuh miskin ini, ketika sekitarku menjadi gelap dan kosong, pada saat kekuatan fisikku menurun, ketika kenangan akan dosa-dosaku berada dalam ingatanku, ketika aku merasakan kurang dalam segala hal, Bunda Maria akan tetap menjadi ibundaku, beliau akan hadir untuk menutup mataku, menumbuhkan rasa kepercayaan yang besar tanpa batas untuk merebut surga, sehingga jiwaku keluar dari penjara badani melalui doa dan pertobatan total akan dosa-dosaku serta kasih yang besar kepada Allah. Aku akan bernyanyi dengan merdu ketika Bunda Maria memelukku: …”Al cielo, al cielo sí!… “ (=ke surga… Ya! Ke surga!)

Saat itu aku tiba di keabadian, cintaku akan bersatu dengan cinta bundaku dalam pelukan abadi, sehingga aku mampu mengucapkan dengan penuh sukacita: Maria adalah Ibundaku  (Tulisan Beata Maria Ines, Notas Intimas hlm. 61; f. 500)

Sepenggal catatan dari buku harian Beata Maria Ines itu menjadi bahan renungan senja  yang menuju akhir hari itu.

Sr. Elisabeth Hardiantinawati MC


1 Comment

  • Posted May 20, 2022 6:29 pm
    by
    Claris

    Terimakasih Sr.Tina. Relasi yg sangat intim antara Beata Maria Inea dan Bunda Maria

Tambahkan Komentar Anda