Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku sangat membencinya. Untuk menghidupi keluarga, ia membuat masakan untuk dijual di sekolah. Itulah yang terjadi selama masa kanak-kanakku. Aku selalu bertanya mengapa ini semua terjadi padaku. Aku selalu memandangnya dengan tatapan kebencian. Di sekolah, aku selalu menjadi bahan olok-olokkan dan ejekan teman-teman.
Maka suatu hari aku bilang kepadanya: “Bu, mengapa Ibu tidak mempunyai mata yang lain?” Ibu tidak bereaksi. Aku memang merasa sedikit jahat, tapi pada saat yang sama aku berpikir bahwa inilah saatnya untuk aku mengungkapkan kejengkelan pada ibu. Dan mungkin karena itulah ibu tidak pernah memarahiku. Tetapi, aku tak pernah berpikir bahwa hal itu menyakiti hati ibu.
Malam itu aku terbangun untuk mengambil air. Aku melihat ibu sedang menangis terisak-isak, lembut seolah takut membuangunkanku. Aku menatapnya sebentar dan meninggalkannya. Ada perasaan ganjil dalam hatiku, tapi bagaimana pun aku membenci ibu.
Itulah sebabnya aku belajar sungguh-sungguh dan bekerja keras lalu meninggalkan ibu untuk belajar ke Singapura. Kemudian, aku menikah dan membeli rumah di sini. Aku suka tinggal disini, karena tempat ini menghapus kenangan pahit bersama ibu.
Pada suatu hari, sebuah surat undangan untuk menghadiri reuni sekolah datang ke rumahku di Singapura. Maka aku pergi menghadiri reuni tersebut. Seusai reuni, aku mencoba mengunjungi gubuk tua, istilah yang kugunakan untuk menyebut rumah kumuh itu, dengan penuh curiga.
Di sana, aku menemukan ibu terbaring di lantai yang dingin. Namun, aku tak menemukan sebutir air mata pun. Ia memegang selembar kertas dan itu adalah surat untukku. “Anakku… mungkinkah aku berharap pada suatu saat nanti kau dapat mengunjungiku di rumah ini? Aku sungguh menyayangimu, anakku….”
“Untukmu, anakku….
Aku sungguh sangat menyesal, mengapa aku hanya memiliki satu mata. Ketahuilah anakku, ketika kau masih kecil, kau mendapatkan kecelakaan, dan kehilangan sebelah matamu. Sebagai seorang ibu, aku tidak akan membiarkanmu tumbuh dan berkembang dengan satu mata saja, maka aku memberikan mataku yang sebelah ini untukmu…untukmu, anakku yang kukasihi. Aku sangat bangga anakku, ketika kau dapat melihat sebuah dunia yang baru, untukku, dengan mata tersebut. Aku tidak pernah menyesal dan marah dengan apa yang pernah kau lakukan padaku, saat kau memarahiku, aku berpikir dalam hati.. itu karena kau sangat menyayangiku, anakku” (dikutip dari: Teha Sugiyo, 2008, Pelangi Kehidupan 1. Antara Cinta dan Kegilaan. Kediri:Kanisius).
S egala kesemarakan dunia modern membentangkan jarak yang luas sehingga membuat kita semakin acuh tak acuh akan keadaan sekitar. Bahkan perasaan, kepekaan, dan cinta kasih akan orang lain serta alam sekitar pun semakin memudar. Ilustrasi di atas menampar dan menyadarkan diri kita akan cinta dari seorang ibu yang begitu besar dan tulus bagi buah hatinya. Seorang ibu akan berusaha untuk menyenangkan hati anaknya dan rela berbuat apapun, sekalipun itu sangat menyakiti dan merugikan dirinya sendiri. Tetapi seorang ibu tak pernah ambil pusing akan semua itu. Walau di zaman modern ini ada beberapa ibu yang terkesan mengabaikan anak-anaknya, akan tetapi pasti ada rasa cinta dan kerinduan dalam lubuk hati mereka.
Juga pada zaman ini kita dapat meneladani sikap Yesus yang mau memberikan perhatian dan cinta kepada banyak orang tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Yesus memberikan contoh kerendahan hati kepada kita dengan cinta. Ia bersimpuh di depan para murid-Nya untuk membasuh kaki mereka (Bdk Yoh 13:4-5).
Setiap hari pun kita selalu mendapatkan cinta. Kita masih dapat menghirup udara segar dan masih bisa membuka mata. Setiap hari kita selau dihidangkan makan oleh orangtua kita, selalu dibantu oleh sesama saat kita mengalami kesulitan, mendapat sapaan dari banyak orang dan masih banyak lagi. Kita pun juga pasti memberikan cinta kepada banyak orang baik secara kita sadari ataupun tidak kita sadari, dan dari cinta juga perhatian kecil yang telah kita berikan kepada orang lain sangat berpengaruh besar bagi mereka.
Jadi sudah berbuat cinta kasih apakah Anda hari ini?
Ignatia Ellis Valentine