“Berbahagialah orang yang menaruh kepercayaan kepada Tuhan”

(Mzm 40 : 5)

Madre Maria Ines dalam sebuah buku refleksinya mengatakan bahwa kita “hendaknya hanya menaruh kepercayaan penuh pada tangan kebapaan-Nya, yang lainnya, Dia akan melaksanakannya” (Dir. hal 93 Kepercayaan/Tawakal). Tidak sekedar mengatakan atau mengajarkannya, Beata Maria Ines menghidupi kepercayaan itu, kepercayaan yang teguh meski ketika berada di tengah situasi yang, secara manusiawi, tampaknya tidak memiliki jalan keluar.

“Bapa, aku menyerahkan diri dalam tangan-Mu;
aku memasrahkan diri pada cinta-Mu, pada kebaikan-Mu, pada kemurahan hati-Mu;
buatlah padaku apa yang Kau kehendaki,
tetapi berilah aku jiwa-jiwa, banyak jiwa, jiwa-jiwa yang terhingga jumlahnya,
berilah aku jiwa dari semua orang yang belum percaya kepada-Mu…
dan kuberikan kepada-Mu hidupku, hatiku, diriku seluruhnya.
Buatlah padaku apa saja yang Kau kehendaki,
hanya ijinkanlah aku hidup dan mati dalam hati-Mu yang penuh kasih itu,
agar hatiku dikobarkan di situ
sehingga dapat mengobarkan pula jiwa-jiwa yang mendekati aku.
Semoga semua orang mengenal dan mencintai-Mu.
Inilah balasan satu-satunya yang kuinginkan.
Amin”

Penyerahan kehendak diri dan kepasrahan total akan kehendak Allah membuat Madre Maria Ines diliputi oleh kekuatan dari kesetiaan dan cinta Bapa.

Saudara–saudari terkasih, sering kali ketika kita berdoa, kita ingin agar doa itu segera dijawab. Kita merasa bahwa Tuhan sungguh mencintai ketika doa kita segera dikabulkan-Nya. Namun apabila doa itu lama tak kunjung mendapat jawaban dari Tuhan, kita mulai berbalik meninggalkan-Nya. Kerap kali kita kurang percaya dan kurang memiliki iman akan belaskasih dan cinta Tuhan kepada kita. Mari kita jadikan doa di atas sebagai doa kita juga, kembali menaruh harapan, kepercayaan dan kepasrahan pada kehendak Tuhan. Terkadang kita meminta tanda pada Tuhan, agar kita bisa percaya. Kita tidak sadar bahwa tanda terbesar yang telah Tuhan berikan adalah Yesus, Sang Roti Kehidupan, yang setiap hari kita jumpai dalam perayaan Ekaristi Kudus.

Sebagai orang beriman kita menyatakan diri sebagai orang–orang yang percaya kepada Kristus. Maka hendaknya kita membangun kepercayaan dalam diri kita, bukan sebatas pada sesuatu yang mengenyangkan dan menyenangkan diri kita. Sebab sesungguhnya, berkat itu tidak hanya apa yang memuaskan keinginan atau sesaat memenuhi kebutuhan kita. Tidak jarang Allah memberkati kita lewat hal-hal atau orang yang sama sekali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bahkan keheningan pun dapat menjadi tanda bahwa Allah mencintai kita. Mungkin saja doa-doa kita tidak dijawab hari ini, namun di balik semua harapan kita, Tuhan telah menyiapkan yang terbaik bagi kita.

Seorang mencoba terjun payung untuk pertama kalinya secara tandem. Instruktur yang menyertainya tentu memiliki sertifikat dan pengalaman, sehingga orang itu tahu bahwa dia aman. Selain itu, parasut yang mereka kenakan juga menjadi garansi bahwa mereka akan mendarat dengan mulus. Meski demikian, dia pasti tetap merasa cemas dan takut, perasaan yang nantinya akan berganti dengan excitement dan kegembiraan ketika dia sudah melompat dan mendarat dengan selamat. Demikian juga kepercayaan kita kepada Allah.

Apakah dengan percaya pada Allah, kita tidak lagi merasakan cemas dan takut? Atau, apakah kecemasan menjadi tanda ketidakpercayaan?

Sama seperti orang yang diceritakan tadi, dia boleh saja berkata ribuan kali bahwa dia percaya instruktur serta parasut itu akan membantunya mendarat dengan aman, akan tetapi jika dia tidak pernah mau melompat, sia-sialah kepercayaan itu.

Bukan berdasar kertas sertifikat, pengalaman maupun kualitas barang tertentu, tapi kita tahu, kepada Siapa kita percaya dan kita yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, yang adalah iman, hingga pada hari Tuhan (bdk. 2 Tim. 1:12).

 

 

Sr. Felisia Ketut MC

1 Comment

  • Posted February 2, 2022 2:42 am
    by
    Robert

    Yup! It’s true! Trust in the Lord with all your heart, and He shall direct your way.
    Thanks, sister.

Tambahkan Komentar Anda